6
Istirahat
pertama telah selesai. Nana berjalan sendiri dikoridor sekolahnya. Seperti
biasa, Nana berjalan dengan pandangan lurus kedepan dengan tatapan sedingin es.
Bibirnya pun terus mengatup tanpa senyum sedikitpun. Rambutnya selalu lurus
sepunggung tanpa ada jepitan yang menempel dirambutnya. Begitupun dengan
poninya yang selalu hampir menutupi matanya tanpa pernah dijepit keatas.
Nanapun sampai dikelasnya dan segera duduk di tempat duduknya. Seperti biasa,
Nana langsung membuka buku setelah sampai kelas. Guru Fisika pun masuk dan
menyuruh semua siswa untuk segera memasukkan bukunya. Semua pun tampak terkejut
dengan ulangan yang tiba-tiba itu. Kecuali hanya Nana yang terlihat biasa saja.
Semua siswa pun protes dengan ulangan yang begitu mendadak itu. Namun guru itu
menolak protes teman-teman Nana. Tampaknya teman-teman Nana lupa jika hari ini
akan aa ulangan.
“Saya kan sudah bilang minggu kemarin, jika
hari ini adalah ulangan. Sekarang siapkan kertas ulangan kalian.” Kata guru
fisika itu. Semua murid pun tampak ingin protes. Tapi guru fisika itu
mengatakan ulangan akan egera dimulai. Ulangan fisika pun dimulai. Semua murid
kelas 11 A tampak bingung dengan soal ulangan yang diujikan. Ada yang mencoba
membuka buku, ada yang mencoba bertanya pada temannya, ada juga yang berdiskusi
bersama. Kecuali Nana yang tampak lancar mengerjakan ulangan itu. Murid yang
ada disebelah Nana pun berusaha melihat jawaban Nana, namun karena jaraknya
terlalu jauh, maka jawabannya pun tak terlihat.
Waktupun habis. Guru itu segera memerintahkan
semua murid untuk mengumpulkan lembar jawabnya dimasing-masing bangku paling
depan. Setelah itu jawaban ditukar dengan teman yang lain untuk dikoreksi. Guru
itu lalu menuliskan jawaban dari ulangan tadi di papan tulis. Semua siswa
tampak sibuk mengoreksi. Setelah selesai, lembar jawaban itu di berikan kepada
guru. Semua muridpun tampak tegang dengan hasil mereka yang akan segera
dibacakan. Perlahan guru itu membacakan hasil ulangan. Semua murid kelas itu
mendapatkan nilai dibawah 50, yang mengharuskan mengikuti remidi. Kecuali hanya
Nana yang tidak remidi dengan mendapatkan nilai yang sempurna yaitu 100. Nana
yang mendapat nilai sempurna itu hanya diam saja. Namun ekspresinya tampak
berbeda dari biasanya yang tampak senang. Semua temannya pun langsung melihat
Nana dengan tatapan tidak suka. Nana yang terus menatap kedepan tidak menyadari
tatapan-tatapan tidak suka temannya. Jikapun Nana tahu, dia pasti akan diam
saja dan tidak peduli.
Setelah guru itu pergi, semua temannnya tampak
berbicara yang aneh-aneh tentang Nana. Ada yang mengatakan Nana penghianat,
tidak setia kawan, egois, dan sombong. Semua kata-kata itu jelas terdengar
ditelinga Nana. Nana hanya diam saja mendapat kata-kata seperti itu.
“Bahkan
kata-kata tajam seperti itu, sudah kebal dalam hatiku. Hatiku sama sekali tidak
merasa sakit dengan kata-kata itu. Kata-kata itu sudah menjadi makananku setiap
hari. Entah itu itu disekolah atau dipanti, kata-kata seperti itu sudah
terbiasa terlontar kepadaku. Jadi hatiku sama sekali tidak merasa sakit
sedikitpun.” Batin Nana.
Bel pun berbunyi, istirahat telah tiba. Nana
segera memasukkan bukunya dalam tas. Semua teman sekelasnya berhamburan keluar.
Nana pun melangkahkan kaki keluar dari kelasnya. Disamping pintu terlihat
teman-temannya sedang berkumpul. Tiba-tiba teman-temannya itu melemparkan
kertas kerah Nana. Bukan hanya tiga atau empat, melainkan tiga puluhan
teman-temannya melempari Nana dengan gumpalan kertas bekas. Nana yang dilempari
kertas itu terus melangkahkan kakinya tanpa berkata sepatah katapun.
Pandangannya terus lurus kedepan seolah dia kuat dan baik-baik saja. Bukan
hanya gumpalan kertas yang Nana terima, termasuk juga kata-kata pedas yang
diterimanya. Anak-anak dari kelas lain pun juga melihat Nana yang terus dilempari
kertas dan kata-kata tajam. Herry yang ikut melempar kertas berdiri didepan
Nana yang menghalangi langkah kaki Nana. Nana pun menatap tajam Herry yang ada
didepannya. langkah kaki Nana yang akan lewat kiri atau kanan selalu dihalangi
dengan tubuhnya. Nana yang sudah terlalu kesal langsung bersuara.
“Minggir..” kata Nana pelan dengan tatapan
setajam pisau. Herry pun tersenyum mendengar suara Nana yang jarang
dikeluarkannya.
“Baiklah, silahkan lewat tuan putri?” kata
Herry mempersilahkan Nana untuk lewat. Semua teman-teman sekelasnya tertawa
mendengar Nana yang dipanggil tuan putri.
“Tuan putri apanya? Tuan nenek lampir ma iya.
Hahaha…” kata Risa yang langsung dibenarkan oleh teman-temannya yang lain.
Nana yang ditertawakan mendengar semua itu dan
terus berjalan. Nana pun tetap berjalan dengan pandangan kosong. Hingga
akhirnya dia menabrak seseorang. Nana menabrak laki-laki saat itu. Laki-laki
yang juga telat bersama Nana dulu, laki-laki yang dilihat Nana sekilas saat
ditaman dan laki-laki yang masuk dikelas sebelah Nana. Nana yang hampir
terjatuh langsung dipegang oleh laki-laki itu agar tidak jatuh. Nanapun tampak
kikuk karena lengan tangannya yang dipegang oleh laki-laki itu. Nanapun segera
menarik tangannya. Nanapun langsung pergi tanpa mengucapakan maaf atau terima
kasih. Dia langsung melanjutkan langkahnya meninggalkan laki-laki itu yang
masih menatap kepergiannya.
“Aneh. Tidak mengucapkan maaf atau terima
kasih.” Gerutu laki-laki itu pelan. Setelah mengatakan itu, laki-laki itu
mengangkat bahunya seolah mengatakan “entahlah”. Kemudian laki-laki itu
melanjutkan langkahnya kembali. namun beberapa saat kemudian, dia memutar
arahnya.
***
Nana sedang berjalan menuju kekamar mandi.
Dari jauh terlihat Agni CS tengah berdiri didepan kamar mereka. Agni tampak
tersenyum sinis kearah Nana. Begitu pun kedua temannya yang juga ikut tersenyum
sinis. Shiren lalu membisikkan sesuatu ketelinga Agni. Karin yang berada disana
juga ikut mendekatkan telinganya didekat telinga Agni. Nanapun hanya melihat
mereka dengan tidak peduli. Tiba-tiba Agni mengulurkan kakinya yang membuat
Nana terjatuh. Nana langsung berdiri tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia
langsung menatap tajam Agni CS.
“Apa yang kau lihat, mau aku tusuk matamu yang melotot itu!” kata Agni melihat Nana dengan
tersenyum. Tidak ingin menimbulkan masalah yang besar, Nana segera berjalan
meninggalkan Agni CS. Terdengar Agni CS yang tetawa senang.
“Dari
awal,mereka memang tidak menyukaiku. Dan Agni tidak menyukaiku semenjak Ahsin
datang menemuiku pada bulan kedua aku tinggal disini. Dan bukan dirinya yang
Ahsin temui, melainkan aku. Sampai sekarang dia masih sangat tidak menyukaiku.
Begitupun aku yang tidak menyukainya karena masalah yang selalu dia timbulkan
terhadapku.” Suara Nana terdengar.
Flash back
Lingkaran
hitam dikalender kamar Nana telah bersatu. Hari ini adalah hari yang sangat
ditunggu oleh Nana. Penantiannya akan terbayar sudah. Dengan senyuman kecil
diwajahnya, dia mulai berjalan keluar dari kamarnya. Dia berjalan dan terus
berjalan meninggalkan panti dan menuju ke kursi yang biasa dia duduki yang
berada ditepi lapangan kecil depan panti. Dia lalu memandang langit lepas dan
menutup matanya. Mungkin ini telah menjadi kebiasaannya yang ia peroleh dari
Ahsin. Mobil keluarga Ahsinpun telah sampai dihalaman panti. Nana tidak
menyadarinya sambil terus memejamkan matanya menghadap kelangit. Atau mungkin
dia telah terlelap.
Begitu mobil berhenti, Ahsin langsung turun
dari mobil. Matanya seperti mencari sosok yang begitu ingin dia temui. Diapun
berjalan diantara anak-anak panti yang menyambutnya. Namun sosok yang dicarinya
tidak terlihat disana. Dia lalu menghampiri Dika yang tidak jauh dari sana.
“Dika, Nana dimana ya?” Tanya Ahsin.
“Nana? Hemm… aku tidak melihatnya disini.
Mungkin ditempat lain.” Jawab Dika berpikir.
“Ok, terimakasih.”
Sepertinya Ahsin sudah tahu dimana Nana berada karena dia sedang memandang
lapangan sekarang. Dia tersenyum dan berlari menuju lapangan. Ahsin menatap
Nana yang masih terpejam matanya menghadap langit. Senyumnya lagi-lagi merekah
kembali.
“Ah.. kau terlaku suka meniru Na.” kata Ahsin
pelan menatap Nana. Dia lalu duduk diamping Nana. Seperti Nana, dia menatap
langit dan memejamkan matanya. Sudah terlalu lama mereka berdua memejamkan mata
menghadap kelangit. Ahsin pun bangun dan menatap Nana yang masih terlelap.
Ahsin terus menatap Nana yang masih terlelap. Beberapa menit kemudian, Nana
terbangun dan terkejut mendapati Ahsin yang sedang menatapnya. Diapun jadi
salah tingkah dan menutup matanya kembali.
“Hei, bangun! Sudah berapa lama kau telah
tertidur!” teriak Ahsin ditelinga Nana. Sebelah mata Nana mengintip.
“Ayolah… aku tahu kau sudah bagun.” Kata Ahsin
lagi. Karena sudah ketahuan, akhirnya Nana membuka kedua matanya.
“Kau.. kenapa tidak menyambutku seperti yang
lain?” protes Ahsin.
“Kenapa aku harus menyambutmu?” jawab Nana
cuek.
“Apakah kau tidak merindukanku?”
“Kenapa juga aku harus merindukanmu?”
“Berhenti! Kenapa kau membalas pertanyaanku
dengan pertanyaan pula? Aku butuh jawaban. Bukan pertanyaan.” Protes Ahsin lagi
dengan rasa kesal diwajahnya.
“Baiklah. Jawab saja sendiri.” Jawab Nana.
“Ok. Lupakan semua yang tadi.” Kata Ahsin
mengalah sambil menghela napas. Lalu berkata kembali.
“Bagaimana kabarmu Na?
“Baik.” Jawab Nana singkat.
“Kau tidak balik bertanya kabarku? Protes
Ahsin lagi
“Untuk apa? Disini kau sudah terlihat
baik-baik saja. Jadi tidak perlu ditanyakan.” Jawab Nana cuek.
“Ah benar juga ya.” Kata Ahsin dengan senyum
kekalahan. Suasana pun hening, karena Ahsin sudah tidak punya lagi sesuatu
untuk dibahas. Demikian Nana yang cenderung diam dan tidak banyak bicara.
Kebisuan ini terus berlanjut hingga beberapa waktu berlalu. Ahsin akhirnya
membuka mulut untuk menghindari kebisuan ini.
“Eh Na, kenapa kau tadi tidur disini dan juga
apakah kau meniru gayaku?”
“Haruskah aku menjawabnya?” Tanya Nana lagi.
“Baiklah. Tidak usah dijawab.” Kata Ahsin .
“Iya. Aku menirumu.” Jawab Nana mengaku.
“Apa yang kau rasakan dengan itu?” Tanya Ahsin
penasaran.
Nana memandang langit dan berkata “Aku
merasakan kedamaian.” Ahsinpun tersenyum mendengar jawaban Nana.
“Sama. Aku juga merasakan kedamaian.” Ahsin
melihat langit kembali.
***
Didepan panti asuhan tampak kerumunan
anak-anak panti yang mengantri untuk menapatkan santunan. Keluarga Ahsin memang
cukup kaya, sehingga cukup untuk memberikan santunan bagi anak-anak panti.
Ayahnya adalah seorang CEO sebuah Mall dan hotel yang sudah mempunyai cabang
dikota-kota lain. Namun keluarga ini sugguh tidak sombong dan bisa berbagi
untuk sesama.
Agni CS terlihat bingung dihalaman panti.
Mereka kesana-sini menghampiri anak –anak panti lainnya. Tampaknya mereka
sedang mencari seseorang. Agni lalu menghampiri Dika yang berada dipinggir
halaman panti.
“Dik, lihat Ahsin tidak?”
“Ahsin? Aku tidak melihatnya sejak tadi.”
Jawab Dika.
Agni lalu menghela napas panjang. “Kemana dia?
Dimana-mana tidak ada.” Gerutu Agni pelan.
“Oh… tadi aku melihatnya saat dia baru sampai
disini.”
“Lalu?” Tanya Agni penasaran.
“Dia mencari Nana. Tapi sekarang aku tidak
tahu.” Jawab Dika lagi.
“Nana? Untuk apa dia mencari Nana?” batin
Agni. “ Ahh.. begitu.” Kata Agni.
Dari kejauhan tampak Ahsin dan Nana berjalan menuju
halaman panti. Mereka saling tertawa dan bercanda. Shiren kemudian berlari
menghampiri Agni yang masih bersama Dika.
“Ni, itu Ahsin.” Senggol Shiren dan menunjuk
arah Ahsin berada.
“Nana? Dia bersama Nana?” kata Shiren lagi.
Seketika raut wajah Agni berubah sebal.
“Tidak mungkin.” Kata Agni kemudian berlari
menghampiri Ahsin dan Nana. Dia langsung berdiri diantara Ahsin dan Nana.
Otomatis Nana tergeser oleh Agni. Nana pun bergeser menjauh beberapa langkah.
“Ahsin, darimana saja kau, aku lelah mencarimu.”
Kata Agni terus terang pada Ahsin.
“Hehe.. maaf. Ada apa?” jawab Ahsin tertawa.
“Kau kemarin kan berjanji untuk mengajariku
memukul bola kasti.” Protes Agni.
“Ok, baiklah. Tapi Nana..” jawab Ahsin yang
langsung dipotong oleh Agni. “Tidak apa-apa kok. Iya kan Na?”
Nana hanya mengangguk tak mengatakan apa-apa.
Tanpa membuang waktu lagi, Agni menarik Ahsin menuju kelapangan. Nana hanya
melihat mereka yang meninggalkannya sendiri. Ahsin sekilas melihat Nana yang
berjalan masuk kedalam panti asuhan.
***
Flash back and
Tidak ada komentar:
Posting Komentar