BOOK REVIEW
Mata Kuliah Ilmu Tafsir
Disusun oleh : Chasanatun
Nikmah (142111133)
Identitas
Buku
Judul : Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Quran
Pengarang : Dr. Muhammad Sayid Husein Adz-Dzahabi
Tahun
terbit :1996
Penerbit
: PT Raja Grafindo Persada
Kota
Terbit : Jakarta
PENDAHULUAN
Sebelumnya
banyak diantara kita yang beranggapan bahwa buku-buku tafsir (al-Quran)
merupakan buku-buku suci. Tetapi mereka lupa bahwa sebenarnya para mufassir itu
juga manusia biasa yang tidak kebal terhadap dosa, dan tafsir itu merupakan
bidang kajian yang luas, karena kebodohan atau adanya kepentingan-kepentingan
pribadi penafsirnya, dapat menimbulkan pendapat-pendapat yang justru merusak
citra al-Quran itu sendiri. Tafsir juga merupakan tempat yang subur untuk
menumbuhkan dan menyebarluaskan pendapat-pendapat mazhab dan golongan.
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Penafsiran dalam Alquran dalam Dua Periode
1.
Periode
periwayatan
Al-Quran adalah
sebuah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril. Nabi Muhammad selain berfungsi sebagai penyampai Al-Quran juga
sekaligus sebagai penafsirnya. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah ayat
yang telah ditafsirkan oleh Nabi tersebut. Ada yang berpendapat bahwa beliau
telah menjelaskan makna Al-Quran itu seluruhnya kepada para sahabat, termasuk
makna semua katanya. Ada juga pendapat lain yang berpendapat bahwa beliau hanya
menjelaskan sedikit saja dari makna al-Quran itu kepada para sahabat .
Dengan demikian diantara penafsiran
yang diriwayatkan oleh para sahabat itu ada yang bersumber dari Rosulullah dan
ada pula yang bersumber dari mereka sendiri melalui pemikiran dan ijtihad. Dan
seterusnya pada generasi selanjutnya, sampai datangnya periode pembukuan.
2.
Periode
Pembukuan
Periode ini dimulai pada akhir abad
pertama dan awal abad ke-2 H. dalam periode ini tafsir memasuki beberapa tahap
yang mempunyai ciri khas masing-masing.
·
Tahap
Pertama
Pada tahap ini, pembukuan tafsir dilakukan secara bersama-sama
dengan pembukuan hadis..
·
Tahap
Kedua
Pada tahap ini tafsir dipisahkan dari hadist sehingga merupakan
ilmu yang berdiri sendiri. Semua tafsir ini mereka tulis berdasarkan pertautan
periwayatan atau sanad yang lengkap dan sebagian besar yang dimuat dalam
tafsir-tafsir tersebut adalah tafsir bil ma’tsur.
·
Tahap
ketiga
Pada tahap ini tafsir belum keluar dari garis tafsir bil ma’tsur.
Akan tetapi sanadnya dihilangkan.
·
Tahap
keempat
Pada tahap ini tafsir melangkah lebih luas lagi dan melalui masa
yang panjang sekali, sejak masa khilafah ‘Abbasiyah hingga masa modern sekarang
ini. Jadi pada masa tahap ini telah menggabungkan tafsir bir-ra’yi (tafsir,
aqli, rasional) dengan tafsir naql, melalui beberapa tahap yang menarik.
A.
Asal
Mula Timbulnya Orientasi Menyimpang dalam Tafsir dan beberapa Faktor yang
mendorongnya
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyimpangan dalam tafsir dimulai dari
penghilangan sanad dan karena didominasi oleh kecenderungan-kecenderungan
perorangan dan mazhabmazhab teolojik atau mazhab-mazhab lain. Lalu dikemudian
hari muncul generasi-generasi baru yang mengutip tafsir-tafsir mereka itu sama
persis seperti yang mereka lakukan tanpa menguji kebenaran tafsir-tafsir
tersebut dan tanpa menyebutkan sanad-sananya pula. Akibatnya banyak orang yang
tersesat karena membaca biku-buku tafsir tersebut, dan mereka mengira bahwa
semua penafsiran dan kisah-kisah israiliyat yang ada didalamnya benar.
Secara umum
berikut adalah faktor yang mendorongnya, antara lain:
1.
Mufassir
yang bersangkutan meyakini kebenaran salah satu diantara banyak makna yang ada,
kemudian menggunakan makna tersebut untuk menerangkan berbagai lafal al-Quran.
2.
Mufassir
yang bersangkutan berusaha menafsirkan al-Quran berdasarkan makna yang
dimengerti oleh penutur bahasa Arab semata-mata, tanpa memperhatikan siapa yang
berbicara dengan (menggunakan) al-Quran itu, kepada siapa diturunkannya
al-Quran itu dan siapa pula yang dibicarakan leh al-Quran itu.
B.
Penyimpangan-pemyimpangan dalam Penafsiran Al-Quran
1.
Penyimpangan
dalam Tafsir Para Sejarawan
Tafsir yang ditulis oleh ahli
sejarawan sangat dipengarui oleh unsur-unsur sejarah. Misalnya mufassir Abu
Ishaq Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Ats-Tsa’labi (wafat tahun 427 H) dengan
bukunya Al-Kasyfu wal bayanu ‘An Tafsiril Quran dan Alauddin Abu Hasan Ali bin
Muhammad bin Ibrahim bin Umar bin Khalil Asy-Syaihi al-Baghdadi yang terkenal
dengan julukannya Al-Khazin (wafat tahun 741 H) dengan buku tafsirnya Lubabut
Ta’wil fi Ma’anit Tanzil.
Dengan sangat mencolok kedua orang
itu memasukkan kisah-kisah Israiliyat ke dalam buku-buku tafsir mereka
masing-masing, dan banyak mengemukakan kisah-kisah yang sama sekali tidak
benar. Kedua mufassir tersebut kadang-kadang mengemukakan kritik terhadap
beberapa kisah yang mereka kutip tetapi kadang-kadang tidak memberikan komentar
apa-apa dan tidak mau mngorek kesalahan yang terapat dalam kisah-kisah tersebut
meskipun jelas menodai kesucian para nabi.
Faktor yang mendorong kedua orang
mufassir tersebut untuk memasukkan kisah-kisah Israiliyat kedalam tafsir mereka
adalah kegemaran mereka membaca dan menceritakan kembaki jisah-kisah Israiliyat
itu meskipun didalamnya sebenarnya terdapat hal-hal yang tidak benar.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa
kisah-kisah Israiliyat yang dikutip oleh sebagian mufassir dari ahli kitab dan
digunakan untuk menjelaskan kandungan al-Quran berengaruh amat jelek terhadap
tafsir. Hal ini terjadi karena mereka tidak konsisten dengan sikap para sahabat
dahulu yang senantiasa memperhatikan btas kebolehan (yang telah ditentukan oleh
Rasulullah SAW) dan tidak melangarnya. Mereka memasukkan pula kisah-kisah fiktif
yang menyebabkan para peneliti buku-buku tafsir sama sekali tidak dapat
menerima kebenaran kisah-kisah tersebut, walaupun diyakini bahwa semuanya itu
berasal dari sumber yang sama.
Tidak diragukan bahwa mereka yang
menyebarkan dan mencampuradukkan kisah-kisah Israiliyat dan kisahkisah bohong
lainnya dengan kisah-kisah yang benar bisa diibaratkan seperti melemparkan duri
ketengah jalan yang akan dilalui leh para peminat kajian tafsir. Karena itu
seandainya ada ulama yang mau mengikis habis kisah-kisah Israiliyah tersebut
dari buku-buku tersebut benar-benar bersih dari segala macam kisah yang tidak
benar, orang yang akan mempelajari tafsir sudah barang tentu akan dapat
memahami al-Quran itu secara benar dan terhindar dari kebohongan dan kerancuan
para penutur kisah bohong tersebut.
2.
Penyimpangan
dalam Tafsir dari Para Ahli Tata Bahasa Arab
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa
Ilmu Tafsir itu dibukukan bersamaan dengan dibukukannya berbagai macam ilmu.
Juga sudah dikemukakan bahwa jika seorang ahli dalam bidang studi tertentu
menyusun tafsir, mak tafsirannya akan sangat diwarnai oleh bidang yang menjadi
keahliannya itu. Demikian juga tafsir yang ditulis oleh seorang ahli hukum
Islam (faqih), ahli retorika dan ahli tatabahasa Arab (ilmu nahwu) akan
dipengaruhi oleh keahlian masing-masing. Pendek kata, keahlian seseorang dalam
bidang studi tertentu akan banyak mempengaruhi cara penafsirannya terhadap
al-Quran, dan kadang-kadang penafsiran itu kurang sesuai atau bahkan
pembahasannya sama sekali tidak terarah.
Perlu disesalkan adanya orang-orang seperti itu, tidak lain
karena mereka menulis sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditulis dan
merepotkan pembacanya saja karena kesimpangsiuran penafsirannya. Sehingga
menyebabkan orang mengabaikannya. Yang paling jelek adalah para mufassir yang
terlalu mengistimewakan ilmu Nahwu (Tata Bahasa Arab) dengan berbagai macam
alirannya, kemudian menganggap tidak benar aliran-aliran lain yang tidak sama
dengan yang dianutnya. Mereka menemukan suatu ayat dalam al-Quran yang dibaca menurut
bacaan (qiraat) yang konsisten dengan bacaan Nabi Muhammad SAW, kemudian
menganggapnya salah karena bacan itu tidak sesuai dengan aliran (mazhab) nahwu
yang mereka anut. Bahkan lebih dari itu, mereka mencela orang yang membaca
dengan bacaan tersebut dan sekaligus menganggapnya salah sebagai orang yang
tidak mengetahui keindahan dan keanggunan susunan kalimat al-Quran.
Diantara mufassir-mufassir yang
melakukan penyimpangan seperti itu adalah Az-Zamakhsyari (wafat tahun 538 H)
dengan kitab tafsirnya Al-Muharrarul Wajiz fi Tafsiri Kitabil Aziz. Contoh
penyimpangan yang paling mencolok yang dilakukannya adalah ketika menafsirkn
firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 137.
3.
Penyimpangan
dalam Tafsir dari Orang-orang yang Tidak Mengetahui Kaidah-kaidah Bahasa Arab
Ada sekelompok orang yang berbicara
tentang dan menulis tafsir al-Quran padahal mereka tidak memiliki pengetahuan
yang memadai tentang kaidah-kaidah dan aturan bahasa Arab, termasul pengetahuan
tentang pola pembentukan kata dan konjugasi (tasrif)nya. Karena itu, mereka
cenderung melakukan penyimpangan dalam menafsirkan al-Quran dan memberikan arti
etimologis suatu lafal al-Quran dengan arti kata lain yang tidak sesuai, baik
dalam arti hakikinya maupun dalm arti kiasannya.
Tidak ditemukan buku-buku tafsir
khusus yang ditulis oleh orang-orang yang berkualitas seperti ini. yang
ditemukan hanyalah pendapatt-pendapt orang yang dikutip oleh beberapa orang
mufassir dalam buku-buku atau karangan mereka yang membicarakan tafsir.
Penafsiran semacam ini antara lain dikutip oleh Ibnu Qutaibah dari sekelompok
Mu’tazilah yang menafsirkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 255.
4.
Penyimpangan
dalam Tafsir Mu’tazilah
Munculnya berbagai mazhab keagamaan,
sangat mempengaruhi Tafsir al-Quran. Hal itu terjadi karena al-Quran merupakan
acuan pertama bagi kaum Muslimin pendukung mazhab-mazhab tersebut. Mereka
berusaha mencari dalil untuk mendukung mazhabnya masing-masing, meskipun dengan
cara mencocok-cocokan teks (nash) al-Quran dengan pandangan mazhabnya itu.
Mereka menafsirkannya sesuai dengan jalan fikiran dan keinginannya serta
mana’wilkan ayat yang berbeda dengan pendapat mazhabnya sehingga tidak tampak
berlawanan dan bertentangan dengan mazhab serta kepercayaannya.
Keadaan yang telah begitu parah,
para penganut mazhab-mazhab itu berusaha keras untuk mempertahankan dan
menyebarluaskan mazhab-mazhab itu keluar lingkungannya sendiri dengan
menggunakan berbagai macam penafsiran yang cenderung menyimpangkan makna firman
Allah sesuai dengan keinginan dan mazhab yang mereka anut.
Diantara kelompok-kelompok mazhab
itu, mu’tazilah merupakan kelompok yang banyak mena’wilkan ayat-ayat al-Quran
secara tidak proporsional dan menyimpangkan maknateks-teks al-Quran dari makna
yang sebenarnya dalam rangka mendukung prinsip-prinsip yang diyakininya.
Bila kita mengkaji kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para
mufassir Mu’tazilah kita dapat mengungkapkan banyak pena’wilan untuk mendukung
lima prinsip yang telah mereka sepakati yakni tauhid, keadilan, janji, dan
ancaman, tempat diantara surga dan neraka dan amar ma’ruf nahi mungkar.
disini cukup disebutkan beberapa
contoh pena’wilan yang memberikan gambaran tentang betapa pintarnya orang
Mu’tazilah menyimpangkan makna suatu ayat sesuai dengan pandangan mereka dan
menjadikannya tidak cocok sebagai dalil bagi lawan-lawannya. Misalnya dalam menafsirkan AlQuran al-Kiyamah ayat 22
dan 23.
5.
Penyimpangan
dalam Tafsir Orang-orang Syi’ah (Imamiyah Itsna ‘Asyariyah)
Bila kita mempunyai waktu untuk
mengkaji mazhab Syi’ah kita dapat melihat bahwa ternyata para pendukungnya
tidak terlepas dari perpecahan dan perbedan pendapat termasuk dalam akidahnya.
Selain kita dapati pengikut-pengikut ekstrim yang mengangkat Ali sampai
ketingkat ketuhanan (sehingga sebenarnya mereka telah kafir), kita dapati pula
pengikut-pengikut moderat yang menganggap Ali sekedar lebih utama daripada para
sahabat Nabi lainnya serta menganggapnya lebih berhak atas jabatan khalifah.
Disamping itu kita dapati juga pengikut-pengikut yang bersikap tengah-tengah
diantara kelompok itu. Mereka tidak mempertuhan Ali dan tidak menganggapnya
sebagai manusia biasa yang berbuat salah atau benar, melainkan menganggapnya
sebagai orang yang yang ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa) setelah wafatnya Rasulullah
SAW.
Setiap kelompok pengikut Syi’ah
menyebut dirinya Islam dan mengakui al-Quran meskipun secara garis besarnya
saja, karena itu wajarlah jika mereka berusaha mengkaji kitab suci sandaran
utama itu dan berupaya untuk menjadikannya sebagai dalil untuk menguatkan,
bukan menentang, kebenaran pendapat mereka. Ayat-ayat al-Quran yang menurut
mereka bisa dipakai sebagai alasan penguat atas (kebenaran) mazhab Syi’ah
mereka pegangi, sedangkan ayat-ayat yang mereka anggap tidak cocok dengan
berbagai cara mereka cocok-cocokkan atau setidak-tidaknya mereka tafsirkan
sedemikian rupa sehingga tidak tampak bertentangan dengan mazhab mereka itu.
Upaya mereka itu jelas mengakibatkan penyimpangan nash al-Quran dari dari
maknanya yang sebenarnya.
Syiah dengan berbagai macam
kelompoknya mempunyai pengaruh terhadap penafsiran al-Quran an yang paling
besar pengaruhnya adalah kelompok Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Mereka berpendapat
bahwa Rasulullah SAW telah menetapkan Ali (bin Abi Thalib) sebagai pemimpin
(imam) setelah beliau beliau wafat. Kemudian kepemimpinan itu berturut-turut
beralih dari Ali kepada putranya, Hasan, dan kepada keturunan seterusnya.
Contoh tafsirnya adalah Tafsir Al-Quran karya Sayid Abdullah Al-‘Alawy (wafat
tahun 1188 H).
6.
Penyimpangan
dalam Tafsir di Kalangan Khawarij
Kelompok Khawarij timbul setelah
keputusan tahkim (peleraian) yang sebenarnya merupakan merupakan penipuan Amr
bin Ash terhadap Abu Musa Al-Asy’ari. Di lingkungan Khawarij sendiri terjadi
perselisihan sehingga kelompok ini terpecah menjadi sekte-sekte kecil yang
berbeda satu sama lain aik dalam ajaran maupun keyakinannya. Namun demikian
mereka sependapat dalam dua hal pokok: 1. Mengkafirkan Utsman, Ali, Mu’awiyah
dan dua orang pelerai (Amr bin ‘Ash dan Abu Musa Al’Asy’ary), pasukan unta dan
semua orang yang menerima tahkim; 2. Wajib menentang peguasa yang tiran. Selain
itu ada hal yang ketiga yang diakui oleh kebanyakan kelompok Khawarij, bahwa
orang yang melakukan dosa besar dianggap telah kafir.
Kita mengetahui adanya beberapa
sekte dalam Khawarij tetapi semuanya menyebut dirinya Islam dan mengakui
kebenaran al-Quran sebagai landasan ats prinsip-prinsip dan ajaran-ajarannya,
walaupun dalam hal ini mereka melihat al-Quran dari sudut pandangan yang mereka
yakini saja. Kaerena itu ayat yang mereka anggap mendukung kebenaran mazhabnya
mereka pegangi dan mereka jadikan sandaran, sedangkan ayat yang mereka anggap
mendukung mazhab lain mereka hindari dengan cara mena’wilkannya sehingga tidak
berbenturan dengan prinsip dan ajaran mereka sendiri.
Orang-orang yang mengkaji
pemikiran-pemikiran dibidang tafsir yang dikutip dari kalangan Khawarij atau
membaca tafsir yang terdapat dalam buku-buku Tafsir mereka sendiri yang sampai
ke tangan kita, sehingga kan terlihat bahwa kepentingan mazhab sangat
berpengaruh terhadap pemikiran dan berperanan penting dalam pemahaman-pemahaman
mereka. Dengan demikian sebenarnya mereka melihat al-Quran dari sudut pandangan
dan keyakinan mereka sendiri. mereka tidak mengetahui sedikit pun makna lain
dari al-Quran selain daripada yang diwrnai oleh mazhab dan oleh pemimpin
mereka.
Sebagai contoh bisa dikemukakan
bahwa sebagaian besar Kaum Khawarij berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa
besar dianggap telah kafir dan akan kekal dineraka Jahannam. Diantara buku-buku
yang membicarakan Kaum Khawarij ini, kami dapati nama Ibnu Abil Hadid yang
membahas pandangan-pandangan kelompok Khawarij ini dalam bukunya Syarhu Nahjil
Balaghah. Dia menunjukkan kepada kita dalili-dalil yang mereka ambil dari
al-Quran sebagai landasan atas pendapat mereka mengenai orang yang melakukan
dosa besar itu. Contohnya yang disebut Ibnu Abil Hadid adalah sura Al-Maidah
ayat 97.
7.
Penyimpangan
dalam Tafsr di Kalangan Sufi
Tasawuf atau mistik (zuhud), pertapaan, dan berlebih-lebihan dalam
beribadat telah ada sejak masamasa
pertama sejarah Islam. Tetapi kata Sufi tersebut baru dikenakan kepada
orang-orang zuhud pada masa-masa sejak pertengahan abad keua Hijriah. Pada abad
ini timbul pembahasan-pembahasan mengenai tasawuf dan lahir pula ajaran-ajaran
dan pandangan-pandangan sufi yang dianut oleh para pendukungnya. Pembahasan-pembahasan
dan ajaran-ajaran ini tumbuh dan berkembang teruh dari masa ke masa, sejalan
dengan apa yang telah mereka warisi dari para filosof di zaman dahulu.
Sejumlah tokoh sufi menjalin
hubungang yang erat dengan para filosof dan banyak menaruh perhatian terhadap
fikiran-fikiran filosofis, sehingga karenanya kita dapati di antara mereka
orang-orang yang lebih mirip filosof daripada sufi. Kaerena itu sebagian
diantara para penanut tasawuf itu mengamalkan agama berdasarkan
pandangan-pandangan filosofis yang justru tidak sesuai dengan ajaran-ajaran
pokok syari’ah. Dala mengamalkan sufi itu mereka mengikuti dua macam orientasi:
1. Orientasi teoritis yang didasarkn atas hasil pembahasan dan studi, 2.
Orientasi praktis yang didasarkan atas kegiatan penyiksaan iri, askestisisme
(zuhud) an menghanyutkan diri secara berlebih-lebihan dalam kegiatan beribadat
kepada Allah.
Sebagaimana kelompok-kelompok dalam
Islam, kaum sufi jug banyak melakukan pengkajian terhadap al-Quran dan memiliki
berbagai buku tafsir yang tersimpan diperpustakaan-perpustakaan Islam, baik
yang baru maupun yang lama. Pengkajian-pengkajian terhadap al-Quran dan
urairan-uraian mereka berciri khas tasawuf. Alam hal ini tampak jelas
pengaruh-pengauh tasawuf teoritis yang didasarkan atas pemikiran-pemikiran
ilmiah para tokoh sufi dan kemudian dicarikan justifikasinya dari dalam
al-Quran.
Selain itu juga tampak
pengaruh-pengaruh tasawuf praktis yang dipusatkan pada latihan ruhani oleh para
penganutnya sampai mencapai suatu tingkat yang dikenal sebagai kasyaf, dimana
isyarat-isyarat suci dari alam ghaib konon tampak dan memberikan pengetahuan-pengetahuan
rabbani kedalam hati mereka, dan pengetahuan itulah yang mereka gunakan untuk
menjelaskan makna al-Quran.
Bila melihat kitab-kitab tafsir kaum
sufi, baik tafsir teoritis(nadhari) maupun tafsir simbolis (Isyari) atau
limpahan (Faidhi), dapat ditemukan didalamnya penyimpangan-pemyimpangan dalam
menafsirkan al-Quran itu. Tafsir sufi nadhari pada umumnya menyimpangkan makna
al-Quran dari maksud dan tujuan yang dikehendaki sebenarnya. Al-Quran dengan
nash-nash dan ayat-ayatnya mempunyai maksu-maksud tertentu, tetapi orag-orang
sufi menyimpangkannya kepada maksud-maksud lain yang sesuai dengan
pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran mereka. Kadang-kadang ada kesenjangan dan
kontradiksi diantara kedua tujuan atau maksud tersebut, dalam hal seperti ini
mereka tidak berbuat lain kecuali menyimpangkan maksud al-Quran yang sebenarnya
itu kepada maksud lain yang ingin dicapainya. Dengan segal upayanya ini mereka
bermaksud mempopulerkan faham tasawuf kepada orang-orang yang membaca al-Quran
dan bermaksud membangun teori-teori atau pandangan-pandangan yang didasarkan
atas prinsip dari kandungan kitab suci itu. Sebenarnya dengan perbuatan ini
kaum sufi telah diperbudak oleh pandangan-pandangan filsafat dan ajaran-ajaran
tasawuf. Sebenarnya mereka tidak mengemukakan apa-apa tentang al-Quran itu
kecuali pena’wilan yng semuanya bernada menjelekkan agama dan merupakan
perbuatan lancan terhadap ayat-ayat al-Quran itu.
8.
Penyimpangan
dalam Tafsir di Kalangan Para Ilmuwan
Diantara
para ulama dizaman dahulumaupun dizaman sekarang ada yang berpendapat bahwa
disamping ilmu agama al-Quran juga berisi keterangan-keterangan-keterangan
tentang ilmu-ilmu duniawi dengan segala macam jenis dan coraknya. Sebagai
akibatnya mereka mencoba mencari istilah-istilah keilmuan dari dalam
pernyataan-pernyataan al-Quran, berusaha mengungkapkan semua ilmu kealaman dari
dalam nash-nashnya bahkan menegaskan bahwaa semua ilmu yang kita dapati
sekarang hingga hari kiamat kelak telah diungkapkan dalam al-Quran dan bisa digali
daripadanya.
Orang
yang paling terkenal mengikuti orientasi penfsiran al-Quran seperti ini adalah
Imam Al-Chazali. Dia juga dikenal paling gigih berusaha mempopulerkannya
ditengah-tengah pengkajian Islam yang bercorak ilmiah.
Jika
dilakukan penelitian tentang sejarah penafsiran al-Quran, akan ditemulan bahwa
kecenderungan penafsiran secara ilmiah ini timbul semenjak masa perkembangan
ilmu pengetahuan dizaman Abbasiyah hingga sekarang. Dari penelitian tersebut
juga dapat diambil kesimpulan bahwa kecenderungan penafsiran ini semula
dimaksudkan untuk mencoba mncari kecocokan antara yng disebut dalam al-Quran
degan yang diperoleh dari sains modern, kemudian gagasan tersebut ditekuni oleh
Al-Ghazali dan ulama-ulama lain yang sependapat dengannya. Akhirnya pemikiran
ini mengalami perkembangan yang sangat pesat pada saat sekarang sehingga
memberikan dorongan yang sangat besar bagi par cendekiawan dan ulama untuk
menulis banyak buku dan tafsir yang didasarkan atas pemikiran ilmiah ini.
PENUTUP
Demikianlah
beberapa penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Quran yang diulas sangat
apik oleh Dr. Muhammad Sayid Husein Adz-Dzahabi yang tanpa memihak siapapun. Ternyata
tanpa kita sadari, buku-buku tafsir yang selama ini kita percayai dan kita gunakan
banyak terdapat penyimpangan-penyimpangan yang kita anggap benar yang ternyata
sudah terpengaruhi oleh mazhab atau golongan. Seperti buku-buku tafsir yang
telah dipengaruhi oleh mufassir itu sendiri, seperti para sejarawan, para ahli
tata bahasa Arab, orang-orang yang tidak mengetahui kaidah bahasa Arab,
golongan Mu’tazillah, Syi’ah, Khawarij, Sufi, dan para Ilmuawan yang cenderung
menonjolkan golongan atau mazhabnya yag justru menyimpangkan makna al-Qura itu
sendiri. Dan percaya begitu saja dengan apa yang tertulis disana. Tanpa mencari
tahu makna yang sebenarnya. Dengan adanya buku ini, membuat kita semakin
selektif dalam membaca sebuah buku tafsir.
Dan sebenarnya masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan lain dalam
penafsiran al-Quran yang tidak diungkapkan dalam buku ini.