Selasa, 10 Maret 2015

cermin sakura episode 4



4

            Nana berjalan menuju ruang makan panti. Pandangan matanya tajam lurus kedepan. Raut wajahnya tampak judes dan sombong. Semenjak kejadian tidak adil 5 tahun lalu, Nana berubah sangat banyak. Dia cenderung diam dan dan gaya bicaranya selalu kasar. Tatapan matanya yang lembut, berubah menjadi tatapan setajam pisau. Hatinya yang penolong berubah menjadi hati yang tidak pernah peduli dengan orang lain. Dia tidak takut pada apapun, keculi gelap. Fobianya pada gelap tidak pernah hilang sampai sekarang.
Suara Nana mulai terdengar.
“Aku bukan Nana yang dulu. Hati malaikatku dulu telah kubuang jauh. Aku tidak peduli dengan orang lain. Aku tidak mau dekat dan didekati orang lain. Karena itu terlalu menyakitkan jika orang yang dekat denganku akan pergi jauh. Aku juga tidak percaya pada siapapun. Termasuk diriku sendiri. Untuk apa aku percaya jika orang lain belum tentu mempercayaiku. Aku hanya takut pada satu hal. Yaitu gelap. Entah seberapa apapun aku mencoba, aku tetap tidak bisa melawannya. Gelap adalah sesuatu yang menakutkan. Sangat menakutkan hingga aku tidak bisa melakukan apa-apa, hingga membuatku sesak napas dan tidak bisa bergerak. Aku membenci kegelapan. Dan seseorang yang bisa membantuku serta mengetahui kondisiku dalam kegelapan, sekarang menghilang. Atau mungkin aku telah lupa tentangnya.”
Flash back
            Berbagai balon warna-warni mengapung disebuah kolam renang yang terlihat indah dengan cahaya lampu-lampu taman yang melawan gelapnya malam. Tampak disekellilingnya terdapat banyak orang yang sedang terlihat berpesta. Suara lagu selamat ulang tahun dan tepuk tangan terdengar riuh disana. Ini adalah sebuah perayaan ulang tahun. Semua orang yang ada disana terlihat menikmati pesta yang begitu meriah. Di meja yang cukup panjang, berbagai aneka makanan mewah terhidang diatasnya. Setelah lagu selamat ulang tahun selesai dinyanyikan, seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun meniup lilin yang berada diatas kue yang cukup besar. Dialah Ahsin muda yang terlihat cute dengan kemaja kecil yang dipakainya. Semua undangan yang hadir memberi tepuk tangan untuknya. Senyum diwajahnya terus mengembang. Disana terlihat juga anak-anak panti yang ikut menikmati pesta ulang tahun Ahsin. Termasuk Nana, Dewi serta Agni CS yang juga hadir disana. Terlihat Nana mengenakan sebuah bando merah dirambutnya yang tergerai dengan baju terusan kombinasi merah hitam selutut. Potongan kue ulang tahun pertama telah berada ditangan Ahsin. Kemudian Ahsin memberikan potongan kue itu pada ayah dan ibunya. Tepuk tangan pun kembali terdengar lagi. Setelah acara tiup lilin dan pemotongan kue selesai, semua tamu yang hadir mulai menikmati hidangan yang tersaji ditemani hiburan sebuah band yang ikut memeriahkan acara itu. Nanapun juga ikut menikmati alunan musik yang mulai terdengar. Tiba-tiba sebuah tangan menariknya. Nanapun melihat orang yang menarik tangannya yang ternyata adalah Ahsin yang tersenyum menatapnya.
            “Ayo ikut aku.”
“Kemana?” Tanya Nana bingung dengan Ahsin yang tiba-tiba menarik tangannya. Ahsin lalu tersenyum kembali.
“Kesuatu tempat. Ayolah ikut saja.”
“Tapi pestanya?” Ahsin langsung begitu saja menarik Nana meninggalkan kolam renang tempat berpesta.
“Tidak apa-apa. Ikut saja denganku.” Kata Ahsin terus menarik tangan Nana. Ahsin dan Nana berjalan memasuki rumah Ahsin yang terlihat mewah dan besar. Ahsin membimbing Nana memasuki sebuah ruangan yang secara khusus menjadi ruang pribadi Ahsin. Ruangan itu terlihat luas dan mewah. Berbagai mainan mewah terpajang disana. Selain itu terdapat juga berbagai jenis buku-buku yang tertata rapi disebuah rak besar serta sebuah TV dilengkapi aplikasi game didekatnya. Sebuah computer juga terlihat mengisi ruangan itu. Nana tampak takjub melihat ruangan yang sangat luas itu. Mulutnya tak henti-hentinya mengatakan takjub terhadap ruangan itu. Refleks, Nana berjalan mengelilingi ruangan itu. Ahsinpun mengikuti Nana yang berjalan didepannya.
“Ini adalah ruangan pribadiku. Bagaimana menurutmu Na?” Nanapun meoleh kebelakang melihat Ahsin yang memintanya memberikan pendapat.
“Wooaaa… ini sangat keren.” Jawab Nana memberi pendapat. Mendengar pendapat Nana, Ahsin mulai menerangkan semua benda yang ada diruangan pribadinya. Mata Nanapun kembali menjelajahi ruangan mewah itu. Hingga akhirnya matanya berhenti menatap sebuah benda yang menarik perhatiannya. Dia melihat sebuah rubik yang belum terselesai. Dia kemudian mendekati rubik itu.
“Na, aku juga berpikir ingin menambah koleksi barang lain disini. Bagaimana pendapatmu.” Tanya Ahsin meminta pendapat Nana. Karena Nana tidak memberikan pendapatnya, Ahsin lalu berjalan mendekati Nana. Dia lalu melihat arah pandangan Nana yang melihat sebuah rubik diatas rak.
“Ini adalah rubik yang belum bisa aku selesaikan sampai sekarang.” Kata Ahsin mengambil rubik dari rak.
“Bolehkah aku menyelesaikannya?” Tanya Nana dengan sebuah pengharapan dimatanya yang menatap rubik ditangan Ahsin. Mendengar pertanyaaan itu, Ahsin lalu memberikan rubik itu ditangan Nana.
“Selesaikan saja jika kau bisa.”
“Baiklah. Aku akan menyelesaikannya.” Kata Nana senang. Ahsin lalu duduk di sofa yang berada diruangan itu. Ahsin terus melihat Nana yang berusaha menyelasikan rubik itu.
“Jika kau tidak bisa, jangan dipaksa.” Kata Ahsin memberi nasihat. Nana yang mendengar perkataan Ahsin langsung menoleh menatap Ahsin dan tersenyum mantab.
“Aku pasti bisa menyelesaikannya.”
“Baiklah coba saja.” Kata Ahsin menyerah melihat Nana yang penuh tekad. Beberapa saat kemudian Nana berhasil menyelasaikan rubik itu.
“Selesai! Ahsin, aku menyelesaikan rubik ini!” teriak Nana senang. Ahsinpun menatap Nana tidak percaya. Terlihat dari eksprei wajahnya mengatakan bahwa bagaimana bisa Nana menyelasaikannya dengan waktu yang singkat sedangkan dia saja sudah betahun-tahun belum bisa menyelasaiknnya. Nana lalu berjalan kearah Ahsin yang masih duduk disofa. Baru beberapa langkah berjalan, listrik ruangan itu padam. Nanapun terkejut dengan padamnya lampu ruangan itu. Dia pun ketakutan.
“Ahsin.!” Panggil Nana ketakutan.
“Iya, aku ada disini Na.” jawab Ahsin yang berada diruangan itu. Nana yang fobia dengan gelap akhirnya mulai memunculkan fobianya. Keringat dingin telah mengucur ditubuhnya.
“Ahsin, aku takut. Aku tidak bisa berada dalam kegelapan.”  Kata Nana lagi.
“Tunggulah Na, aku akan pergi mencari sesuatu yang terang.” Ahsinpun mulai mencari sesuatu yang bisa menerangkan ruangan. Ahsinpun  menemukan sebuah penerangan yang berasal dari mainan robotnya. Diapun berjalan mendekati Nana. Rasa takut Nanapun mulai menghilang. Namun tiba-tiba cahaya dari robot itu padam. Baterainya habis. Nanapun ketakutan kembali.
“Na, tunggu sebentar. Aku akan pergi mencari penerangan.” Kata Ahsin berjalan meninggalkan Nana. Terdengar bunyi pintu tertutup. Ahsin keluar dari ruangan dimana hanya terdapat Nana sendiri didalamnya.
“Ahsin? Apa kau tidak ada disini?” Tanya Nana yang mulai tampak cemas. Namun sama sekali tidak ada jawaban dari Ahsin. Nana mencoba berjalan mengikuti Ahsin, namun langkah kakinya terasa berat tidak bisa diangkat. Nana melihat sekeliling yang semuanya gelap. Keringat dingin mulai mengucur ditubuhnya kembali. Dadanya mulai terasa sesak dan napasnya mulai tersengal-sengal. Nana mulai sulit bernapas karena oksigen diruangan itu menurutnya mulai menghilang. Perlahan air matanya mulai menetes. Dia terus memanggil nama Ahsin yang tak kunjung datang. Dada Nana semakin sesak dan napasnya semakin tersengal-sengal. Tubuhnya mulai lemas tak berdaya hingga akhirnya dia duduk karena kakinya sudah tidak mampu menopang tubuhnya.
“Ahsin… kumohon cepat kembalilah…” kata Nana terus menangis.  Wajahnya semakin pucat. Napasnya terus tersengal-sengal. Tubuhnya semakin lemas dan lemas karena tidak bisa bernapas. Nana kemudian terbaring lemas karena sudah tidak mampu untuk duduk.
“Ahsin….” Panggil Nana dalam hati dan perlahan dia menutup matanya. Sebuah cahaya yang cukup terang kemudian memasuki ruangan itu. Ahsin berjalan keruangan itu dengan lilin ditangannya.
“Nana?” panggil Ahsin berjalan dalam ruangan itu. Tiba-tiba dia terkejut melihat Nana yang sudah terbaring lemah dilantai.
“Nana!!!” panggil Ahsin melihat Nana. Ahsin lalu mendekati Nana yang terbaring dilantai dengan mata terpejam. Ahsin menaruh lilin itu dekatnya dan menyentuh Nana.
Dia semakin terkejut merasakan keringat dingin yang membasahi tubuh Nana. “Nana ayo bangun!” kata Ahsin menyentuh wajah Nana. Namun nana tetap tidak bangun. Ahsin semakin panik dengan keadaan Naa. Dia lalu menaruh kepala Nana dipangkuannya.
“Nana, cepatlah bangun. Kumohon bangunlah..” kata Ahsin lagi. Perlahan mata Nana terbuka. Nana lalu melihat Ahsin yang berda didekatnya dengan cahaya lilin yang menerangi.
“Ahsin.. apakah itu kau?” Tanya Nana dengan lemah.
“Iya ini aku. Sekarang kau baik-baik saja. Maaf telah meninggalkanmu sendiri dalam kegelapan. Jadi mulai sekarang kau harus selalu membawa alat penerangan. Entah apapun itu.” Kata Ahsin menyesal. Nana lalu mengangguk.
***
            Flash back and
Makan malam hampir tiba. Tanpa ekspresi Nana menuju ke meja makan panti. Ada sekitar 76 anak di tampung disini. Ada yang masih balita sampai remaja seperti dirinya tinggal disini. Mungkin sebentar lagi Nana akan meninggalkan panti asuhan ini. Ada aturan jika sudah berumur 18 tahun atau setelah lulus SMA, maka harus meninggalkan panti ini. Mereka dianggap sudah dewasa dan bisa mencari makan sendiri.  Sekitar satu tahun lagi pasti Nana  sudah ditendang dari panti ini. Karena saat ini umurnya sudah menginjak usia 17 tahun. Dan disini ada 6 anak yang seumuran dengannya. 2 laki-laki dan empat perempuan, termasuk Nana didalamnya.
Ketika Nana mulai melahap makanannya, tatapan-tatapan sinis dari anak-anak panti tak pernah pudar dari hidupnya. Apalagi dengan tiga anak perempuan yang seumuran dengannya yang sangat membencinya dan sangat senang jika Nana menderita. Siapa lagi kalau bukan Agni dan kedua pengikutnya. Tapi Nana mengganggap bahwa dirinya tidak menderita karena perlakuan Agni CS kepadanya.
 ”eh.. Nana yang dingin dan sok pintar”.  Celetuk Shiren, yang merupakan salah satu dari ketiga anak perempuan yang duduk di meja belakang Nana. Nana tidak peduli dan terus melanjutkan makannya. Nana hanya  menganggap sebagai angin lewat saja.
 “sombong baget sih.. pantas tidak punya teman. Kasihan banget ya?”. Sambung Agni yang merupakan leader dari ketiganya. Dialah orang yang sangat membenci Nana dan sangat Nana benci. Dan akhirnya sama-sama membenci serta saling bermusuhan. Juga karena kejadian masa lalu yang sangat menyakitkan bagi Nana, membuat Nana sama sekali tidak menyukainya. Rambut ikal sebahu dengan pita besar yang selalu bertengger dirambutnya. Ditambah mascara dengan dandanan menor membuatnya terlihat sangat aneh. Ya itulah dirinya, bagus menurutnya dan aneh menurut Nana.
“mungkin ada ganguan di telinganya”. Tambah Karin yang sangat centil.
Kesabaran Nana habis, seraya Nana menghentikan makannya. Hilang sudah nafsu makannya. Nana perlahan mendekati mereka. Rasa kesal sudah tidak bisa lagi ditahannya. Dia lalu tersenyum licik kepada mereka, kemudian  Nana menumpahkan setengah sisa makanannya dalam piring Agni yang baru sedikit dimakannya.
“aku tidak sombong kok, buktinya aku bisa berbagi makanan denganmu. Makan yang banyak ya Agni, tolong dihabiskan”.
Balas Nana dengan senyum manis mematikan. Dia puas dengan apa yang telah diperbuatnya. Tidak dihiraukan pandangan anak-anak panti lainnya yang menatapnya. Lalu Nana tersenyum mengejek pada ketiganya serta melangkah pergi dari mereka. 
“Nana…!!! Awas kau!! Ahhh..!!!”. Jeritan Agni yang tidak dipedulikan Nana lagi. Suara hati nanapun terdengar.
Mungkin anak-anak panti lainnya menganggap aku jahat, dingin, dan tidak berperasaan. Itu memang benar, aku sadar dan tidak membantahnya. Memang itulah aku, tidak peduli dengan orang lain. Bisa dibilang aku egois, hanya peduli pada diriku sendiri, juga tidak suka ikut campur urusan orang lain. Bagiku Itu masalah mereka, bukan diriku.”
“Mbak Nana serem, aku takut”. Tatapan tajam langsung Nana hujamkan pada anak laki-laki kecil panti yang kira-kira baru berusia 6 tahun. Seketika anak kecil itu langsung terdiam dan akhirnya berlari ketakutan. Suara hati Nana terdengar lagi.
Mungkin anak itu memang benar bahwa aku menyeramkan. Dengan rambut lurus panjang serta poni lurus yang hampir menutupi mataku. Mirip dengan hantu jepang sadako yang melegenda itu. Dan pas dengan julukan karakterku yang dingin, egois, kasar, dan kejam. Melengkapi kata-kata anak kecil tadi. Aku tak peduli karena ini adalah aku.
 Aku tahu mereka sangat membenciku dan memusuhiku. Aku pun juga tidak peduli dan menganggap itu hal yang biasa. Tak perlu diurus dan biarkan saja. Aku juga tidak menganggap bahwa mereka ada. Menurutku mereka hanya orang-orang tak berguna yang tidak punya kerjaan. Hanya membenci dan memusuhi saja yang mereka tahu. Aku hanya menganggap bahwa mereka iri terhadapku. Itu saja cukup sebagai alasan untuk tidak peduli.”
Derap langkah kaki Nana pun seolah sangat menakutkan. Anak-anak panti yang berada disekitar tempat dia berjalan langsung berlari menyembunyikan diri dari pandangan mata Nana. Suara tutupan pintu kamar mereka jelas terdengar ditelinganya. Mungkin seperti sadako yang sangat menakutkan. Nana tak peduli dan terus melanjutkan jalannya menuju kamarnya. Nana lalu menutup pintu seraya menghempaskan tubuhnya dikasur panti yang tidak terlalu empuk. Nana pun meghembuskan napas pasrah serta mencoba memejamkan matanya. Namun  apa daya, Nana belum ngantuk dan tak bisa tidur. Hanya dirinya seorang dikamar ini. Padahal jatah tiap kamar harus diisi minimal 5 dan maksimal 10. Tapi Nana hanya sendiri dikamar itu. Nana tahu anak-anak panti lainnya tidak ada yang mau sekamar dengannya. Nana terlalu menyeramkan dan dibenci oleh anak-anak panti lainnya. Jadi dia paham mengapa dia sendiri saja dikamar itu. Juga menurutnya itu adalah sebuah keberuntungan untuknya. Kamar luas untuk dirinya sendiri, ibarat kamar VIP. Jadi Nana menikmatinya. Nana pun mencoba memejamkan matanya kembali.
***
            Gelap. Semuanya gelap. Nana terjebak dalam ruangan kecil yang tak ada cahaya sama sekali. Seperti sebuah lif yang macet ditengah jalan. Hanya Nana sendiri tanpa ada orang lain. Oksigen seakan perlahan-lahan menghilang dengan sendirinya. Dadanya mulai sesak tak bisa bernapas dan keringat dingin mulai bercucuran ditubuhnya. Kejadian masa lalu Nana terulang kembali. Bukan, ini bukan lif, ini almari asrama. terdengar suara tiga sekawan tertawa-tawa diluar.
            “rasakan itu Nana, hahaha.., kau pantas mendapatkannya..”. suara Agni terdengar ditelinga Nana. Nana ketakutan dan dadanya semakin sesak karena tak ada oksigen yang bisa dia hirup. Tangannya terus mencari-cari senter yang biasanya berada didalam sakunya. Namun apa daya, senter kecilnya tak ada dan dia tidak menemukannya. Nana semakin panik dan terus menggedor-gedor dari dalam almari. Berharap ada orang yang menolongnya.
            “Percuma kau terus menggedor Na, tidak ada yang mau menolongmu, semua membencimu dan berharap kau mati. Hahahha..” suara Agni terdengar lagi ditelinga Nana.
“Kumohon, tolong aku… aku sudah tidak kuat lagi”. Rintih Nana pada mereka. Perlahan air matanya mulai mengalir setelah hampir  empat tahun tak pernah mengalir. Kejadian belasan tahun lalu kembali terulang lagi. Nana terus menjerit dan berteriak meminta tolong. Nana sudah mulai tak bisa bernapas. Dadanya sesak dan mulai kehilangan kesadaran. Dalam hatinya Nana mengatakan.
“kumohon… selamatkan aku..”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar