4
Nana
berjalan menuju ruang makan panti. Pandangan matanya tajam lurus kedepan. Raut
wajahnya tampak judes dan sombong. Semenjak kejadian tidak adil 5 tahun lalu,
Nana berubah sangat banyak. Dia cenderung diam dan dan gaya bicaranya selalu
kasar. Tatapan matanya yang lembut, berubah menjadi tatapan setajam pisau. Hatinya
yang penolong berubah menjadi hati yang tidak pernah peduli dengan orang lain.
Dia tidak takut pada apapun, keculi gelap. Fobianya pada gelap tidak pernah
hilang sampai sekarang.
Suara Nana mulai terdengar.
“Aku bukan Nana yang dulu. Hati malaikatku
dulu telah kubuang jauh. Aku tidak peduli dengan orang lain. Aku tidak mau
dekat dan didekati orang lain. Karena itu terlalu menyakitkan jika orang yang
dekat denganku akan pergi jauh. Aku juga tidak percaya pada siapapun. Termasuk
diriku sendiri. Untuk apa aku percaya jika orang lain belum tentu
mempercayaiku. Aku hanya takut pada satu hal. Yaitu gelap. Entah seberapa
apapun aku mencoba, aku tetap tidak bisa melawannya. Gelap adalah sesuatu yang
menakutkan. Sangat menakutkan hingga aku tidak bisa melakukan apa-apa, hingga
membuatku sesak napas dan tidak bisa bergerak. Aku membenci kegelapan. Dan
seseorang yang bisa membantuku serta mengetahui kondisiku dalam kegelapan,
sekarang menghilang. Atau mungkin aku telah lupa tentangnya.”
Flash back
Berbagai
balon warna-warni mengapung disebuah kolam renang yang terlihat indah dengan
cahaya lampu-lampu taman yang melawan gelapnya malam. Tampak disekellilingnya
terdapat banyak orang yang sedang terlihat berpesta. Suara lagu selamat ulang
tahun dan tepuk tangan terdengar riuh disana. Ini adalah sebuah perayaan ulang
tahun. Semua orang yang ada disana terlihat menikmati pesta yang begitu meriah.
Di meja yang cukup panjang, berbagai aneka makanan mewah terhidang diatasnya.
Setelah lagu selamat ulang tahun selesai dinyanyikan, seorang anak laki-laki
berusia sekitar sepuluh tahun meniup lilin yang berada diatas kue yang cukup
besar. Dialah Ahsin muda yang terlihat cute dengan kemaja kecil yang dipakainya.
Semua undangan yang hadir memberi tepuk tangan untuknya. Senyum diwajahnya
terus mengembang. Disana terlihat juga anak-anak panti yang ikut menikmati
pesta ulang tahun Ahsin. Termasuk Nana, Dewi serta Agni CS yang juga hadir
disana. Terlihat Nana mengenakan sebuah bando merah dirambutnya yang tergerai
dengan baju terusan kombinasi merah hitam selutut. Potongan kue ulang tahun
pertama telah berada ditangan Ahsin. Kemudian Ahsin memberikan potongan kue itu
pada ayah dan ibunya. Tepuk tangan pun kembali terdengar lagi. Setelah acara
tiup lilin dan pemotongan kue selesai, semua tamu yang hadir mulai menikmati
hidangan yang tersaji ditemani hiburan sebuah band yang ikut memeriahkan acara
itu. Nanapun juga ikut menikmati alunan musik yang mulai terdengar. Tiba-tiba
sebuah tangan menariknya. Nanapun melihat orang yang menarik tangannya yang
ternyata adalah Ahsin yang tersenyum menatapnya.
“Ayo
ikut aku.”
“Kemana?” Tanya Nana bingung dengan Ahsin yang
tiba-tiba menarik tangannya. Ahsin lalu tersenyum kembali.
“Kesuatu tempat. Ayolah ikut saja.”
“Tapi pestanya?” Ahsin langsung begitu saja
menarik Nana meninggalkan kolam renang tempat berpesta.
“Tidak apa-apa. Ikut saja denganku.” Kata
Ahsin terus menarik tangan Nana. Ahsin dan Nana berjalan memasuki rumah Ahsin
yang terlihat mewah dan besar. Ahsin membimbing Nana memasuki sebuah ruangan
yang secara khusus menjadi ruang pribadi Ahsin. Ruangan itu terlihat luas dan
mewah. Berbagai mainan mewah terpajang disana. Selain itu terdapat juga
berbagai jenis buku-buku yang tertata rapi disebuah rak besar serta sebuah TV
dilengkapi aplikasi game didekatnya. Sebuah computer juga terlihat mengisi
ruangan itu. Nana tampak takjub melihat ruangan yang sangat luas itu. Mulutnya
tak henti-hentinya mengatakan takjub terhadap ruangan itu. Refleks, Nana
berjalan mengelilingi ruangan itu. Ahsinpun mengikuti Nana yang berjalan
didepannya.
“Ini adalah ruangan pribadiku. Bagaimana
menurutmu Na?” Nanapun meoleh kebelakang melihat Ahsin yang memintanya
memberikan pendapat.
“Wooaaa… ini sangat keren.” Jawab Nana memberi
pendapat. Mendengar pendapat Nana, Ahsin mulai menerangkan semua benda yang ada
diruangan pribadinya. Mata Nanapun kembali menjelajahi ruangan mewah itu.
Hingga akhirnya matanya berhenti menatap sebuah benda yang menarik
perhatiannya. Dia melihat sebuah rubik yang belum terselesai. Dia kemudian
mendekati rubik itu.
“Na, aku juga berpikir ingin menambah koleksi
barang lain disini. Bagaimana pendapatmu.” Tanya Ahsin meminta pendapat Nana.
Karena Nana tidak memberikan pendapatnya, Ahsin lalu berjalan mendekati Nana.
Dia lalu melihat arah pandangan Nana yang melihat sebuah rubik diatas rak.
“Ini adalah rubik yang belum bisa aku
selesaikan sampai sekarang.” Kata Ahsin mengambil rubik dari rak.
“Bolehkah aku menyelesaikannya?” Tanya Nana
dengan sebuah pengharapan dimatanya yang menatap rubik ditangan Ahsin.
Mendengar pertanyaaan itu, Ahsin lalu memberikan rubik itu ditangan Nana.
“Selesaikan saja jika kau bisa.”
“Baiklah. Aku akan menyelesaikannya.” Kata
Nana senang. Ahsin lalu duduk di sofa yang berada diruangan itu. Ahsin terus
melihat Nana yang berusaha menyelasikan rubik itu.
“Jika kau tidak bisa, jangan dipaksa.” Kata
Ahsin memberi nasihat. Nana yang mendengar perkataan Ahsin langsung menoleh
menatap Ahsin dan tersenyum mantab.
“Aku pasti bisa menyelesaikannya.”
“Baiklah coba saja.” Kata Ahsin menyerah
melihat Nana yang penuh tekad. Beberapa saat kemudian Nana berhasil
menyelasaikan rubik itu.
“Selesai! Ahsin, aku menyelesaikan rubik ini!”
teriak Nana senang. Ahsinpun menatap Nana tidak percaya. Terlihat dari eksprei
wajahnya mengatakan bahwa bagaimana bisa Nana menyelasaikannya dengan waktu
yang singkat sedangkan dia saja sudah betahun-tahun belum bisa menyelasaiknnya.
Nana lalu berjalan kearah Ahsin yang masih duduk disofa. Baru beberapa langkah
berjalan, listrik ruangan itu padam. Nanapun terkejut dengan padamnya lampu
ruangan itu. Dia pun ketakutan.
“Ahsin.!” Panggil Nana ketakutan.
“Iya, aku ada disini Na.” jawab Ahsin yang
berada diruangan itu. Nana yang fobia dengan gelap akhirnya mulai memunculkan
fobianya. Keringat dingin telah mengucur ditubuhnya.
“Ahsin, aku takut. Aku tidak bisa berada dalam
kegelapan.” Kata Nana lagi.
“Tunggulah Na, aku akan pergi mencari sesuatu
yang terang.” Ahsinpun mulai mencari sesuatu yang bisa menerangkan ruangan.
Ahsinpun menemukan sebuah penerangan
yang berasal dari mainan robotnya. Diapun berjalan mendekati Nana. Rasa takut
Nanapun mulai menghilang. Namun tiba-tiba cahaya dari robot itu padam.
Baterainya habis. Nanapun ketakutan kembali.
“Na, tunggu sebentar. Aku akan pergi mencari
penerangan.” Kata Ahsin berjalan meninggalkan Nana. Terdengar bunyi pintu
tertutup. Ahsin keluar dari ruangan dimana hanya terdapat Nana sendiri
didalamnya.
“Ahsin? Apa kau tidak ada disini?” Tanya Nana
yang mulai tampak cemas. Namun sama sekali tidak ada jawaban dari Ahsin. Nana
mencoba berjalan mengikuti Ahsin, namun langkah kakinya terasa berat tidak bisa
diangkat. Nana melihat sekeliling yang semuanya gelap. Keringat dingin mulai
mengucur ditubuhnya kembali. Dadanya mulai terasa sesak dan napasnya mulai
tersengal-sengal. Nana mulai sulit bernapas karena oksigen diruangan itu
menurutnya mulai menghilang. Perlahan air matanya mulai menetes. Dia terus
memanggil nama Ahsin yang tak kunjung datang. Dada Nana semakin sesak dan
napasnya semakin tersengal-sengal. Tubuhnya mulai lemas tak berdaya hingga
akhirnya dia duduk karena kakinya sudah tidak mampu menopang tubuhnya.
“Ahsin… kumohon cepat kembalilah…” kata Nana
terus menangis. Wajahnya semakin pucat.
Napasnya terus tersengal-sengal. Tubuhnya semakin lemas dan lemas karena tidak
bisa bernapas. Nana kemudian terbaring lemas karena sudah tidak mampu untuk
duduk.
“Ahsin….” Panggil Nana dalam hati dan perlahan
dia menutup matanya. Sebuah cahaya yang cukup terang kemudian memasuki ruangan
itu. Ahsin berjalan keruangan itu dengan lilin ditangannya.
“Nana?” panggil Ahsin berjalan dalam ruangan
itu. Tiba-tiba dia terkejut melihat Nana yang sudah terbaring lemah dilantai.
“Nana!!!” panggil Ahsin melihat Nana. Ahsin
lalu mendekati Nana yang terbaring dilantai dengan mata terpejam. Ahsin menaruh
lilin itu dekatnya dan menyentuh Nana.
Dia semakin terkejut merasakan keringat dingin
yang membasahi tubuh Nana. “Nana ayo bangun!” kata Ahsin menyentuh wajah Nana.
Namun nana tetap tidak bangun. Ahsin semakin panik dengan keadaan Naa. Dia lalu
menaruh kepala Nana dipangkuannya.
“Nana, cepatlah bangun. Kumohon bangunlah..”
kata Ahsin lagi. Perlahan mata Nana terbuka. Nana lalu melihat Ahsin yang berda
didekatnya dengan cahaya lilin yang menerangi.
“Ahsin.. apakah itu kau?” Tanya Nana dengan
lemah.
“Iya ini aku. Sekarang kau baik-baik saja.
Maaf telah meninggalkanmu sendiri dalam kegelapan. Jadi mulai sekarang kau
harus selalu membawa alat penerangan. Entah apapun itu.” Kata Ahsin menyesal.
Nana lalu mengangguk.
***
Flash
back and
Makan malam hampir tiba. Tanpa ekspresi Nana
menuju ke meja makan panti. Ada sekitar 76 anak di tampung disini. Ada yang
masih balita sampai remaja seperti dirinya tinggal disini. Mungkin sebentar
lagi Nana akan meninggalkan panti asuhan ini. Ada aturan jika sudah berumur 18
tahun atau setelah lulus SMA, maka harus meninggalkan panti ini. Mereka
dianggap sudah dewasa dan bisa mencari makan sendiri. Sekitar satu tahun lagi pasti Nana sudah ditendang dari panti ini. Karena saat
ini umurnya sudah menginjak usia 17 tahun. Dan disini ada 6 anak yang seumuran
dengannya. 2 laki-laki dan empat perempuan, termasuk Nana didalamnya.
Ketika Nana mulai melahap makanannya,
tatapan-tatapan sinis dari anak-anak panti tak pernah pudar dari hidupnya.
Apalagi dengan tiga anak perempuan yang seumuran dengannya yang sangat
membencinya dan sangat senang jika Nana menderita. Siapa lagi kalau bukan Agni
dan kedua pengikutnya. Tapi Nana mengganggap bahwa dirinya tidak menderita karena
perlakuan Agni CS kepadanya.
”eh..
Nana yang dingin dan sok pintar”.
Celetuk Shiren, yang merupakan salah satu dari ketiga anak perempuan
yang duduk di meja belakang Nana. Nana tidak peduli dan terus melanjutkan
makannya. Nana hanya menganggap sebagai
angin lewat saja.
“sombong baget sih.. pantas tidak punya teman.
Kasihan banget ya?”. Sambung Agni yang merupakan leader dari ketiganya. Dialah
orang yang sangat membenci Nana dan sangat Nana benci. Dan akhirnya sama-sama
membenci serta saling bermusuhan. Juga karena kejadian masa lalu yang sangat
menyakitkan bagi Nana, membuat Nana sama sekali tidak menyukainya. Rambut ikal
sebahu dengan pita besar yang selalu bertengger dirambutnya. Ditambah mascara
dengan dandanan menor membuatnya terlihat sangat aneh. Ya itulah dirinya, bagus
menurutnya dan aneh menurut Nana.
“mungkin ada ganguan di telinganya”. Tambah
Karin yang sangat centil.
Kesabaran Nana habis, seraya Nana menghentikan
makannya. Hilang sudah nafsu makannya. Nana perlahan mendekati mereka. Rasa kesal
sudah tidak bisa lagi ditahannya. Dia lalu tersenyum licik kepada mereka,
kemudian Nana menumpahkan setengah sisa
makanannya dalam piring Agni yang baru sedikit dimakannya.
“aku tidak sombong kok, buktinya aku bisa
berbagi makanan denganmu. Makan yang banyak ya Agni, tolong dihabiskan”.
Balas Nana dengan senyum manis mematikan. Dia
puas dengan apa yang telah diperbuatnya. Tidak dihiraukan pandangan anak-anak
panti lainnya yang menatapnya. Lalu Nana tersenyum mengejek pada ketiganya
serta melangkah pergi dari mereka.
“Nana…!!! Awas kau!! Ahhh..!!!”. Jeritan Agni
yang tidak dipedulikan Nana lagi. Suara hati nanapun terdengar.
“Mungkin
anak-anak panti lainnya menganggap aku jahat, dingin, dan tidak berperasaan.
Itu memang benar, aku sadar dan tidak membantahnya. Memang itulah aku, tidak
peduli dengan orang lain. Bisa dibilang aku egois, hanya peduli pada diriku
sendiri, juga tidak suka ikut campur urusan orang lain. Bagiku Itu masalah
mereka, bukan diriku.”
“Mbak Nana serem, aku takut”. Tatapan tajam
langsung Nana hujamkan pada anak laki-laki kecil panti yang kira-kira baru
berusia 6 tahun. Seketika anak kecil itu langsung terdiam dan akhirnya berlari
ketakutan. Suara hati Nana terdengar lagi.
“Mungkin
anak itu memang benar bahwa aku menyeramkan. Dengan rambut lurus panjang serta
poni lurus yang hampir menutupi mataku. Mirip dengan hantu jepang sadako yang
melegenda itu. Dan pas dengan julukan karakterku yang dingin, egois, kasar, dan
kejam. Melengkapi kata-kata anak kecil tadi. Aku tak peduli karena ini adalah
aku.
Aku tahu mereka sangat membenciku dan
memusuhiku. Aku pun juga tidak peduli dan menganggap itu hal yang biasa. Tak
perlu diurus dan biarkan saja. Aku juga tidak menganggap bahwa mereka ada.
Menurutku mereka hanya orang-orang tak berguna yang tidak punya kerjaan. Hanya
membenci dan memusuhi saja yang mereka tahu. Aku hanya menganggap bahwa mereka
iri terhadapku. Itu saja cukup sebagai alasan untuk tidak peduli.”
Derap langkah kaki Nana pun seolah sangat
menakutkan. Anak-anak panti yang berada disekitar tempat dia berjalan langsung
berlari menyembunyikan diri dari pandangan mata Nana. Suara tutupan pintu kamar
mereka jelas terdengar ditelinganya. Mungkin seperti sadako yang sangat
menakutkan. Nana tak peduli dan terus melanjutkan jalannya menuju kamarnya. Nana
lalu menutup pintu seraya menghempaskan tubuhnya dikasur panti yang tidak
terlalu empuk. Nana pun meghembuskan napas pasrah serta mencoba memejamkan
matanya. Namun apa daya, Nana belum
ngantuk dan tak bisa tidur. Hanya dirinya seorang dikamar ini. Padahal jatah
tiap kamar harus diisi minimal 5 dan maksimal 10. Tapi Nana hanya sendiri
dikamar itu. Nana tahu anak-anak panti lainnya tidak ada yang mau sekamar dengannya.
Nana terlalu menyeramkan dan dibenci oleh anak-anak panti lainnya. Jadi dia
paham mengapa dia sendiri saja dikamar itu. Juga menurutnya itu adalah sebuah
keberuntungan untuknya. Kamar luas untuk dirinya sendiri, ibarat kamar VIP.
Jadi Nana menikmatinya. Nana pun mencoba memejamkan matanya kembali.
***
Gelap.
Semuanya gelap. Nana terjebak dalam ruangan kecil yang tak ada cahaya sama
sekali. Seperti sebuah lif yang macet ditengah jalan. Hanya Nana sendiri tanpa
ada orang lain. Oksigen seakan perlahan-lahan menghilang dengan sendirinya.
Dadanya mulai sesak tak bisa bernapas dan keringat dingin mulai bercucuran
ditubuhnya. Kejadian masa lalu Nana terulang kembali. Bukan, ini bukan lif, ini
almari asrama. terdengar suara tiga sekawan tertawa-tawa diluar.
“rasakan
itu Nana, hahaha.., kau pantas mendapatkannya..”. suara Agni terdengar
ditelinga Nana. Nana ketakutan dan dadanya semakin sesak karena tak ada oksigen
yang bisa dia hirup. Tangannya terus mencari-cari senter yang biasanya berada
didalam sakunya. Namun apa daya, senter kecilnya tak ada dan dia tidak
menemukannya. Nana semakin panik dan terus menggedor-gedor dari dalam almari.
Berharap ada orang yang menolongnya.
“Percuma
kau terus menggedor Na, tidak ada yang mau menolongmu, semua membencimu dan
berharap kau mati. Hahahha..” suara Agni terdengar lagi ditelinga Nana.
“Kumohon, tolong aku… aku sudah tidak kuat
lagi”. Rintih Nana pada mereka. Perlahan air matanya mulai mengalir setelah
hampir empat tahun tak pernah mengalir.
Kejadian belasan tahun lalu kembali terulang lagi. Nana terus menjerit dan
berteriak meminta tolong. Nana sudah mulai tak bisa bernapas. Dadanya sesak dan
mulai kehilangan kesadaran. Dalam hatinya Nana mengatakan.
“kumohon… selamatkan aku..”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar