1
Angin
perlahan berhembus tenang mengitari sebuah pegunungan yang sejuk. Diam-diam
angin itu mengusik bunga-bunga yang bermekaran disebuah taman kecil.
Bunga-bunga itu terombang-ambing kesegala arah karena angin itu. Akibatnya
serbuk sari bunga itu perlahan-lahan menari-nari diudara bersama angin.
Demikian juga mahkota bunga itu pelan-pelan melepaskan diri dari cengkeraman
sang kelopak. Begitupun daun-daun yang telah bebas dari ranting yang siap
berpetualangan diudara. Kupu-kupu dengan sekuat tenaga mempertahankan diri dari
tiupan angin itu. Mungkin dengan mengibak-ngibakkan sayapnya yang kecil bisa
menahan tubuhnya dari angin yang tak berperasaan itu. Perlahan angin itu
mendekati sebatang pohon kresem yang terlihat kemerah-merahan buahnya serta
berada disudut taman kecil itu. Serbuan angin tenang itu mengampiri rambut
seorang gadis remaja yang tengah duduk dikursi kayu yang berada dibawah pohon
kresem itu.
Karena
terpaan angin itu, rambut panjangnya yang hitam lurus itu terombang-ambing
kesegela arah sampai menutupi separuh wajahnya. Pelan-pelan tangannya merapikan
rambutnya yang memperlihatkan wajah manisnya. Hidungnya yang tidak terlalu
mancung atau pesek serta warna kulit yang kuning langsat mempertegas bahwa dia
berasal dari suku jawa. Sejenak terlintas senyuman dibibir kecilnya. Lalu matanya mamandang lepas taman kecil yang
ada didepannya. Nana, itulah namanya.
Sesaat
kemudian senyumannya kembali tersungging lagi. Matanya tampak melihat jalan
setapak yang menghubungkan taman itu. Sosok laki-laki remaja terlihat berada
dijalan setapak itu sambil melambungkan senyuman pada gadis remaja itu. Dengan
langkah mantab dia menghampiri Nana yang duduk dibangku kayu itu. Angin nakal
itu sekali-kali menyentuh kemejanya dan mengibas-ngibaskan rambutnya yang
menutupi jidatnya. Dialah Ahsin, yang telah lama bersahabat dengan Nana.
“Seperti
biasa kau berada disini dan tidak menyambutku.” Kata Ahsin kecewa. Nana hanya
menanggapi perkataan Ahsin yang sudah ada didepannya dengan sebuah senyuman.
“Bagaimana
kabarmu?” kata Ahsin lagi yang mengikuti Nana duduk dibangku kayu itu.
“Seperti
yang kau lihat. Dan kau?” Tanya Nana balik menatap wajah Ahsin yang berada
disampingnya.
“Aku?”
Tanya Ahsin meyakinkan. Sejenak dia tersenyum menatap Nana. Lalu pandangannya
berubah arah menatap bunga-bunga yang bermekaran. Belum sempat Nana menjawab,
Ahsin sudah melanjutkan kata-katanya.
“seperti
yang kau lihat juga.” Ahsin memalingkan wajahnya dan melihat Nana lagi.
“Ah…
kau meniruku.” Ucap Nana.
“Kau
juga sering meniruku.” Balas Ahsin dengan senyum kemenangan diwajahnya. Akhirnya
Nanapun ikut tertawa juga.
“Itu
kau sedang meniruku.” Celetuk Ahsin menunjuk Nana.
“Apa?”
Tanya Nana tidak mengerti. Wajahnya menampakkan rasa bingung dan Ahsin tertawa
karena itu.
“hahaha…
Kau meniruku tertawa tadi. Hahaha..” kata Ahsin dengan penuh tawa diwajahnya.
“Hyaaa…
“ seketika Nana berteriak kesal dan seketika juga Ahsin berlari menghindari
amukan Nana yang memuncak. Nanapun
mengejar Ahsin yang berlarian ditaman itu. Ahsin terus mengejek Nana karena
sering menirunya. Nanapun tidak terima dan terus mengejar Ahsin. Merekapun akhirnya kejar-kejaran ditaman itu
cukup lama. Sampai akhirnya mereka berdua kelelahan. Meskipun begitu Nana tetap
berusaha mengejar Ahsin. Dengan napas terengah-engah Ahsin sekuat tenaga
berlari. Hingga akhirnya dia menyerah dan berhenti. Nana yang juga sudah
kelelahan pun berjalan pelan mendekati Ahsin. “Sudahlah. kau yang menang.” Kata
Ahsin mengalah. Dia lalu duduk dirumput taman itu untuk meredakan napasnya yang
terengah-engah.
“Baiklah.
Aku sudah lupa.” Jawab Nana duduk disamping Ahsin.
Ahsin
lalu merebahkan tubuhnya didiatas rumput. Matanya memandang langit lepas.
“Cobalah.” Kata Ahsin sambil tangannya menepuk-nepuk rumput yang ada
disampingnya. Dia mempersilahkan Nana untuk mengikutinya merebahkan tubuh
diatas rumput sambil memandang langit. Nana masih saja diam sambil
mengembalikan Napasnya yang terengah-engah. Karena sudah tidak sabar menunggu
reaksi Nana, akhirnya dia menarik tangan Nana.
“Ayolah.”
Akhirnya Nana mengikuti Ahsin merebahkan tubuhnya diatas rumput. Alhasil Ahsin
dan Nana merebahkan tubuh mereka dirumput sambil memandang lepas langit yang
menjadi atap mereka. Rasa lelah mereka diam-diam hilang dalam sekejab.
Merekapun saling bercanda dan bercerita. Tiba-tiba Ahsin mengeluarkan sebuah
jepit rambut kupu-kupu berwarna biru tua dari saku celananya. Nanapun terdiam
memandang jepit rambut yang sangat indah itu.
“Ini.”
Ucap Ahsin memberikan jepit rambut itu untuk Nana.
“Untukku?”
Tanya Nana meyakinkan. Matanya pun tampak berbinar melihat jepit rambut itu.
“Iya.
Ini untukmu.” Kata Ahsin tersenyum. masih tak percaya, Nana hanya diam saja.
Belum sempat Nana menjawab, Ahsin sudah berkata “ sini, aku pasangkan.” Sambil
menarik tangan nana untuk duduk. Setelah Nana duduk, Ahsin langsung memasangkan
jepit rambut kupu-kupu itu dirambut Nana.
“Nah,
dengan begini kan aku bisa melihat wajahmu dengan jelas.” Kata Ahsin lagi. Memang
setiap bulan Ahsin selalu memberikan kado untuk Nana. Nana lalu memegang jepit
rambut yang ada dirambutnya. Nana berdiri dan berpose bak seorang putri.
“Bagaimana?
Cantikkan?” Puji Nana pada dirinya sendiri disertai gaya yang genit. Karena
gaya Nana yang genit, Ahsin tertawa terbahak-bahak. Sambil tertawa Ahsin
mengatakan bahwa Nana terlihat sangat aneh.
“Heh..
aneh bagaimana?” protes Nana dengan memasang wajah cemberut.
“Bercanda
Na. Kau terlihat cocok dengan itu.” Kata Ahsin yang masih tertawa.
“Baiklah
kalau begitu. Terimakasih.” Ucap Nana seraya tersenyum.
“Kau
sedang apa tadi?” Tanya Ahsin kemudian. Tertawanya perlahan-lahan luntur dan
digantikan sebuah senyuman.
“Membuat
sketsa.” Jawab Nana berjalan menuju bangku kayu mengambil buku dan pensil yang
tergeletak disana. Lalu dia kembali dan menunjukkan sketsa gambarnya pada
Ahsin.
“Lumayan.
Eh Na, buat sketsa wajahku ya? Please!” kata Ahsin memohon kepada Nana. Nana
awalnya enggan, tapi Ahsin terus saja membujuk dan merengek seperti anak kecil.
Karena berisik dengan celotehan Ahsin, akhirnya Nana menyetujui untuk mengambar
sketsa Ahsin. Terlalu senang dengan keputusan Nana, Ahsin lompat-lompat gak
jelas dan terus tertawa sambil menjerit-jerit aneh. Nana hanya memandangi Ahsin
dengan senang.
“Sudahlah.
cepat berpose.” Kata Nana mengarahkan Ahsin. Seketika Ahsin berhenti dari
tingkahnya yang aneh dan mulai berpose lucu. Nana hanya tersenyum melihat
tingkah laku Ahsin yang tidak jelas. Nana mulai menggambar sketsa wajah Ahsin.
Disaat-saat Nana fokus menggambar, Ahsin selalu saja merusak konsentrasi Nana
dengan bercanda dan usil. Karena itu Nana yang super galak selalu menyuruh
Ahsin diam dengan suara kerasnya. Seketika Ahsin terdiam tanpa mengelak, tapi
sesaat kemudian Ahsin mulai usil lagi. Dan begitu seterusnya. Nana juga selalu
menahan senyumnya saat melihat Ahsin yang terdiam tanpa berkutik.
Langitpun
semakin senja dan matahari terlihat diufuk barat. Daun-daun tanaman yang berada
ditaman mulai layu menyambut datangnya petang sebentar lagi. Nana melihat
langit dan menghentikan aktivitas menggambarnya. Diapun menutup bukunya dan
mengajak Ahsin untuk kembali. Namun Ahsin yang masih ingin berlama-lama ditaman
itu enggan untuk meninggalkan taman itu.
“Sketsanya
kan belum selesai.” Protes Ahsin.
“Itu
bisa dilanjutkan waktu yang akan datang. Ayolah, kau harus segera pulang” kata
Nana membujuk.
“Baiklah.
Tapi janji kau akan meneruskannya besok.” Kata Ahsin mengalah.
“Aku
janji.” Kata Nana sambil berjalan meninggalkan Ahsin. Ahsin akhirnya mengikuti
langkah Nana yang menjauh.
Mereka
lalu masuk di halaman sebuah bangunan yang tidak terlalu besar. Sebuah papan
nama tertancap dihalaman bangunan itu. Papan itu bertuliskan panti asuhan
bernama Az-Zahra. Nana salah satu dari penghuni panti itu. Dia dibesarkan
dipanti itu sejak usianya 9 tahun. Terlihat di halaman panti itu beberapa anak
panti berlarian disana. Nana dan Ahsin hanya melihat mereka saja. Beberapa saat
kemudian orang tua Ahsin menghampiri Nana dan Ahsin. Mereka lalu mengajak Ahsin
untuk segera pulang. Orang tua Ahsin adalah donator dipanti itu. Setiap satu
bulan sekali, mereka selau datang kepanti untuk memberikan santunan pada
anak-anak panti yang dominan adalah yatim piyatu. Nana dan Ahsin sudah
bersahabat sejak awal Nana tinggal dipanti ini.
“Na,
aku pulang dulu ya.” Kata Ahsin berpamitan pada Nana. Tampak dari raut wajahnya
dia enggan berpisah dari Nana. Begitupun dengan Nana yang enggan melepas
kepergian Ahsin.
“Iya.
Pulanglah. Hati-hati dijalan.” Jawab Nana.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Balas Nana.
Ahsin
lalu berpamitan dengan anak-anak panti lain dan pengurus panti itu. Dengan
berat hati, Ahsin masuk kemobilnya. Dia lalu membuka kaca mobilnya dan
tersenyum pada Nana. Perlahan-lahan mobilnya berjalan dan mulai meninggalkan
panti itu. Ahsin lalu melambai-lambaikan tangan tanda perpisahan. Begitupun Nana
dan anak-anak panti lainnya yang membalas lambaian tangan Ahsin. Setelah mobil
meninggalkan halaman panti itu dan sudah tidak terlihat lagi, semua penghuni
panti masuk kedalam panti. Kecuali hanya Nana yang masih berada dihalaman
menatap kepergian mobil Ahsin yang sudah tidak terlihat lagi. Sesaat kemudian,
dia berjalan masuk kedalam panti. Sebelum dia masuk kedalam kamar, seorang
gadis yang seumuran dengannya memanggilnya. Gadis itu bernama Agni. Disamping
Agni, ada dua orang gadis lagi yang merupakan teman dari Agni. Mereka adalah
Shiren dan Karin. Karena merasa dipanggil, Nana berhenti berjalan dan menoleh.
“Apa?”
jawab Nana tanpa semangat. Rupanya dia telah mengetahui siapa yang memanggilnya
tadi.
“Jepit
rambut kupu-kupu itu dari Ahsin?” Tanya Agni.
“Benar.”
Jawab Nana menatap Agni.
“Seharusnya
itu milikku.” Kata Agni balas menatap Nana.
“Benar.”
Kata Shiren membela Agni.
“Benarkah?
Tapi, mengapa dia memberikannya padaku? Bukan kepadamu?” Tanya Nana pura-pura
tidak tahu. Agnipun berteriak kesal Karena perkataan Nana itu. Seketika itu,
anak-anak panti lainnya berdatangan ditempat Nana dan Agni.
“hyaa….!!!
Seandainya kau tidak datang kepanti ini, jepit itu sudah mejadi milikku!”
teriak Agni merebut jepit itu dari rambut Nana. Belum sempat Agni menggapai
jepit itu, tangan Nana menghalangi Agni dengan memegang erat tangan Agni.
“Singkirkan
tanganmu itu.” Kata Nana sambil menatap tajam Agni. Lalu Nana menghempaskan
tangan Agni dengan kasar. Agnipun berteriak kesal pada Nana. Nana tidak peduli
dan melanjutkan jalannya meninggalkan Agni yang terlihat sangat kesal. Beberapa
langkah berjalan, Nana lalu menoleh kembali dan menatap Agni tajam. Nana lalu
berkata pada Agni.
“Jika
kau menginginkan jepit rambut ini, minta izinlah pada Ahsin, atau meminta Ahsin
memberikannya padamu.” Kata Nana dengan nada pelan namun menusuk. Kata-kata
Nana semakin membuat Agni kesal.
“Lihatlah.
Kau akan menyesal Na!!!” teriak Agni mengancam. Nana tidak peduli dan
meneruskan jalannya kembali. sampai dikamar, Nana menutup pintu dan menghela
napas panjang. Dia lalu memegang jepit kupu-kupu yang tersemat dirambutnya.
Dalam hati dia berkata, “Begitu sulitkah?”. Dia lalu menuju kekasur dan merebahkan
dirinya dikasur.
“Kenapa
lagi Na?” Tanya seorang gadis seumuran dengannya yang berada di kasur sebelah
Nana.
“Itu
Agni. Segitu bencinya kah dia denganku?” kata Nana menatap temannya yang bernama
Dewi itu.
“Karena
kau dekat dengan Ahsin, kulihat dia sering mencari masalah denganmu. Dia iri
denganmu.” Kata Dewi memberi argument.
“Aku
rasa juga begitu.” Jawab Nana menghela napas.
“Sudahlah.
jangan dipikirkan lagi. Kan ada aku yang selalu siap membantumu.” Kata Dewi
tersenyum pada Nana.
“Ok,
baiklah.” Kata Nana membalas senyuman Dewi dengan senyuman. Mereka berduapun
saling tersenyum satu sama lain.
***
Sebuah
pagi yang cerah, Nana dan Dewi duduk dikursi kayu yang berada dipinggir
lapangan kecil didepan panti asuhan itu. Mereka saling tertawa dan becanda.
Mata Dewi lalu memandang sebuah mobil yang masuk kehalaman panti. Nana yang
heran dengan Dewi yang terdiam dengan tiba-tiba, lalu Nana mengikuti arah
pandang Dewi yang melihat sebuah mobil berhenti dihalaman panti.
“Siapa
mereka, apakah itu Ahsin?” Tanya Dewi pada Nana. Nana yang hapal dengan mobil
Ahsin pun menyanggah pertanyaan Dewi.
“Bukan.
Itu bukan mobil Ahsin.” Kata Nana. Lalu keluarlah sepasang suami istri yang
berjalan masuk kedalam panti.
“Mungkin
mereka donator Wi.” Kata Nana lagi.
“Mungkin
saja.” Balas Dewi. Mereka lalu tidak mempedulikan itu lagi dan bercanda
kembali.
Beberapa
saat kemudian, bunda memanggil semua anak-anak panti untuk berkumpul diruang
aula. Nana dan Dewi pun berjalan menuju keaula. Sesampainya di aula, Nana dan
Dewi melihat sepasang suami itu lagi. Diaula sudah terkumpul anak-anak panti,
termasuk juga Agni CS didalamnya.
“Na,
ada acara apa ini?” Tanya Dewi.
“Tidak
tahu. Coba dengarkan saja.” Jawab Nana tidak tahu.
Bunda
lalu mulai mengeluarkan suaranya. Bunda lalu memperkenalkan pasangan suami
istri tadi.
“Anak-anak,
perkenalkan beliau berdua adalah Pak Anton dan Bu Mirna. Mereka datang kesini
untuk mengadopsi seoarang anak. Karena mereka tidak mempunyai anak.” Kata bunda
memberikan informasi. Sesaat kemudian suara aulapun terdengar gaduh.
“Anak-anak
diam.” Kata bunda menenangkan seisi ruangan aula. Seketika suara gaduh itu
hilang. Semua anak panti terdiam.
“Sekarang
bunda akan menyebut nama-nama calon untuk diadopsi dan telah dipilih oleh
beliau berdua.” Kata bunda lagi. Semua anak panti terlihat gemetar dan takut
jika nama mereka yang akan dipanggil. Begitu juga dengan Nana dan Dewi yang
saling berepegang tangan dengan erat dan sekali-kali memjamkan mata berharap
bukan mereka berdua. Kecuali hanya Agni yang terlihat biasa saja.
“karena
berdua menginginkan anak perempuan dan agak remaja, maka bunda kan
menyebut tiga anak perempuan yang
berumur sekitar 12 tahun. “ kata bunda lagi. Seketika Nana dan Dewi mempererat
pegangan tangan mereka. Karena mereka berdua berumur sekitar 12 tahun.
“Mereka,
Shiren, Agni, dan.. Dewi.” Kata bunda. Seketika tangan Nana dan Dewi lemas. Mereka
saling menatap dan mata Dewi tampak berkaca-kaca.
“Na,
bagaimana ini?” ucap Dewi dengan suara bergetar.
“Tidak
apa-apa. Ini baru calon dan belum tentu.” Suara Nana menenangkan Dewi. Hatinya
terasa sangat sesak dan ingin menangis. Bunda lalu menyuruh nama yang telah
dipanggil untuk maju kedepan. Rasanya tangan Nana begitu berat melepaskan Dewi,
begitu juga Dewi yang begitu berat melepaskan tangannya dari tangan Nana.
Shiren, Agni dan juga Dewi akhirnya melangkah kedepan.
“Meskipun
ini begitu berat, ini juga untuk hidup kalian .Silahkan untuk memilih Pak Anton
dan Bu Mirna.” Kata bunda. Setelah berlangsung agak lama Pak Anton dan Bu Mirna
mendekati Dewi. Dan terpilihlah Dewi untuk diadopsi.
Sekujur
tubuh Nana bergetar dan lemas. Kakinya tak sanggup lagi untuk menopang tubuhnya
yang baru saja mendengar keputusan yang sangat sakit untuk diterimanya. Matanya
berkaca-kaca dan semakin lama air matanya menetes dengan sendirinya. Semua mata
tertuju padanya. Matanya yang penuh dengan air mata menatap lekat sahabat
satu-satunya dipanti ini. Dia hanya bisa diam tanpa bisa mengatakan sepatah
katapun. matanya terus meneteskan air mata tanpa suara dan terus menatap Dewi.
Begitupun
Dewi yang juga menatap Nana dengan lemas. Matanya yang sudah berkaca-kaca
akhirnya mengeluarkan air mata yang tertahankan dikelopak matanya. Ingin
rasanya dia mendekati Nana dan mengusap air mata Nana, namun apadaya tubuhnya
terlalu lemas untuk melangakahkan kakinya
mendekati Nana. Hatinya terus memanggil nama tanpa bisa terucap
dibibirnya.
“Dewi,
kau terpilih untuk diadopsi oleh keluarga Pak Anton. Silahkan untuk membereskan
baran-barangmu sekarang juga.” Kata bunda yang semakin menusuk-nusuk hati Nana.
Seketika Nana dan Dewi terkejut dengan
keputusa yang tba-tiba ini. Dengan lemas Nana bertanya.
“Sekarang
bun?” Tanya Nana lemas.
“Iya,
karena besok pagi keluarga Pak Anton akan langsung pindah ke Korea untuk
menjalankan bisnisnya. Jadi Dewi akan ikut bersama keluarga Pak Anton ke
Korea.” Kata bunda menjelaskan.
“Korea?”
kata Nana pelan. Negara yang sangat jauh dari pandangan matanya. Negara yang
mungkin tidak mampu untuk didatanginya. Penjelasan inilah yang membuat Nana tidak
mampu menopang tubuhnya dan akhirnya dia terjatuh. Nana kemudian menatap Dewi
yang telah menangis tersedu-sedu. Dengan keadaan yang mendesak ini, akhirnya
Dewi mampu berjalan mendekati Nana dan memeluknya.
“Bunda,
kurasa ini tidak…” belum sempat Dewi mengatakan sesuatu, Nana telah memotong
perkataan Dewi.
“Baiklah
bun, Dewi akan pergi. Ayo aku bantu beres-beres Wi.” Kata Nana melawan hatinya.
Lalu Nana menarik tangan Dewi menuju kekamar. Sampai dikamar, Dewi tidak
mengerti dengan maksud Nana tadi.
“Apa
maksudmu Na. ini bukan keinginan hati kita. Jika aku menolak, maka semua ini
bisa dicegah.” Ucap Dewi dengan kesal.
“Dengarkan
aku Wi. Korea adalah Negara impian kita. Kau ingin melihat salju dan bunga
sakura kan. Disanalah tempatnya?” kata Nana menjelaskan dengan mata
berkaca-kaca. Nana lalu berkata dalam hati, “Dewi. Semua ini demi kebaikanmu Wi,
kau akan hidup lebih baik dari ini. Dan kau juga akan menempuh pendidikan
yang baik disana.”
“Tapi
Na, aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri. Aku akan bilang pada bunda bahwa aku
menolak.” Kata Dewi dengan air mata yang terus menetes dan bergegas menuju
pintu.
“Baiklah
kalau begitu. Tinggal saja disini. Tapi aku akan berterus terang. Jangan
sekamar lagi denganku! Selama ini aku selalu membencimu1 Kau selalu
menggangguku! Kau selalu merusak momenku bersama Ahsin!” kata Nana tajam
menatap Dewi. Itu sebenarnya bukanlah kata yang keluar dari hatinya. Namun
dengan cara inilah bisa membuat Dewi bisa pergi tanpa memikirkan dirinya.
“Dewi, aku minta maaf.” kata Nana dalam hati.
“Nana.”
Kata Dewi menoleh kearah Nana.
“Kau
selalu sok tahu tentang urusanku! Padahal aku tidak butuh semua pedulimu!”
teriak Nana dengan tatapan tajam.
“Cukup
Na, ini bukan dirimu.” Kata Dewi menenangkan Nana dengan menyentuh bahu Nana.
“Singkirkan
tanganmu dari tubuhku. Aku jijik dengan tanganmu. Kau hanya pengikutku.” Kata
Nana mengempaskan tangan Dewi dengan kasar dari bahunya. “Wi, maaf kan aku.
Cepat pergilah.” Teriak Nana dalam hati.
“Cukup
Na!!! apa maksudmu Na?” Tanya Dewi dengan mata terus menangis.
“Apa
kau tidak paham juga? Kau orang tak berguna yang selalu mengikutiku! Aku sangat
benci kepadamu!”. Kata Nana dengan kejam.
“Apakah
ini yang sebenarnya Na? Teganya kau Na. aku benar-benar bodoh. aku kira kau
sahabat, ternyata kau…” kata Dewi kecewa.
“Aku
benar-benar minta maaf Wi. Kuharap kau tidak membenciku. Aku benar-benar minta
maaf.” Kata Nana dalam hati.
“Baiklah,
jika kau sudah mengerti.” Kta Nana yang bertentangan dengan hatinya.
“Ok,
aku akan pergi. Maaf jika telah membuat kesal dirimu.” Kata Dewi seraya
mendekati almarinya.
“Dewi,
maafkan aku. Seharusnya aku yang meminta maaf, bukan dirimu. Jangan benci
diriku Wi.” Kata Nana dalam hati dan membelakangi Dewi yang sedang beraa
didepan almarinya. Dengan perasaan berkecamuk Dewi mulai memasukkan
barang-barangnya kedalam tas. Dia lalu melihat sebuah boneka kecil pemberian Nana
untuknya. Dia lalu meninggalkan boneka itu dialmari yang telah kosong. Tanpa
mengucap sepatah katapun, Dewi meninggalkan kamar yang tinggal Nana sendirian
dikamar itu dengan membanting pintu dengan keras. Airmatanya pun terus mengalir
dipipinya.
Dalam
kamar, Nana sendirian menangis melepaskan sahabatnya yang akan pergi jauh.
Tempat yang sangat jauh untuk digapai. Dia lalu mendekati almari Dewi dan
membukanya. Kosonng dan baju-baju Dewi telah tiada. Hanya sebuah boneka kecil
pemberiannya sebagai kado ulang tahun Dewi yang ke 11. Ulang tahun pertama
semenjak Dewi masuk kepanti ini. Nana tiga tahun lebih dulu masuk kepanti ini. Dia
lalu mengambil boneka itu dan sebuah kertas kecil terselip di baju boneka kecil
itu. Kertas itu bertuliskan.
“Nana,
jaga dirimu dan maaf.” Sebuah kalimat yang sangat dalam sebagai ucapan
perpisahan. Tangis Nanapun pecah dan tubuhnya memeluk erat boneka kecil
peninggalan terakhir untuknya. Lalu terdengarlah suara mobil yang mulai
meninggalkan halaman panti itu. Nana lalu berlari keluar panti dan melihat
mobil yang membawa Dewi pergi. Dia lalu berlari mengejar mobil itu. Namun
sayang, mobil telah berjalan menjauh dan Nana tidak bisa mengejar mobil itu.
Mobil semakin menjauh dan Nana sudah tidak bisa mengejarnya lagi. Dia terjatuh
dijalan dan menangis histeris. Dia terduduk ditengah jalan dengan air mata yang
terus mengalir deras.
“Dewi
maafkan aku!!” Teriak Nana. Kata yang sudah tidak bisa didengar oleh Dewi. Kata
yang belum sempat dapat diucapkan langsung untuk Dewi. Kata yang hanya mampu
diucapakan dalam hati saja.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar