Senin, 02 Maret 2015

cermin sakura episode 1





1

Angin perlahan berhembus tenang mengitari sebuah pegunungan yang sejuk. Diam-diam angin itu mengusik bunga-bunga yang bermekaran disebuah taman kecil. Bunga-bunga itu terombang-ambing kesegala arah karena angin itu. Akibatnya serbuk sari bunga itu perlahan-lahan menari-nari diudara bersama angin. Demikian juga mahkota bunga itu pelan-pelan melepaskan diri dari cengkeraman sang kelopak. Begitupun daun-daun yang telah bebas dari ranting yang siap berpetualangan diudara. Kupu-kupu dengan sekuat tenaga mempertahankan diri dari tiupan angin itu. Mungkin dengan mengibak-ngibakkan sayapnya yang kecil bisa menahan tubuhnya dari angin yang tak berperasaan itu. Perlahan angin itu mendekati sebatang pohon kresem yang terlihat kemerah-merahan buahnya serta berada disudut taman kecil itu. Serbuan angin tenang itu mengampiri rambut seorang gadis remaja yang tengah duduk dikursi kayu yang berada dibawah pohon kresem itu.
Karena terpaan angin itu, rambut panjangnya yang hitam lurus itu terombang-ambing kesegela arah sampai menutupi separuh wajahnya. Pelan-pelan tangannya merapikan rambutnya yang memperlihatkan wajah manisnya. Hidungnya yang tidak terlalu mancung atau pesek serta warna kulit yang kuning langsat mempertegas bahwa dia berasal dari suku jawa. Sejenak terlintas senyuman dibibir kecilnya.  Lalu matanya mamandang lepas taman kecil yang ada didepannya. Nana, itulah namanya.
Sesaat kemudian senyumannya kembali tersungging lagi. Matanya tampak melihat jalan setapak yang menghubungkan taman itu. Sosok laki-laki remaja terlihat berada dijalan setapak itu sambil melambungkan senyuman pada gadis remaja itu. Dengan langkah mantab dia menghampiri Nana yang duduk dibangku kayu itu. Angin nakal itu sekali-kali menyentuh kemejanya dan mengibas-ngibaskan rambutnya yang menutupi jidatnya. Dialah Ahsin, yang telah lama bersahabat dengan Nana.
“Seperti biasa kau berada disini dan tidak menyambutku.” Kata Ahsin kecewa. Nana hanya menanggapi perkataan Ahsin yang sudah ada didepannya dengan sebuah senyuman.
“Bagaimana kabarmu?” kata Ahsin lagi yang mengikuti Nana duduk dibangku kayu itu.
“Seperti yang kau lihat. Dan kau?” Tanya Nana balik menatap wajah Ahsin yang berada disampingnya.
“Aku?” Tanya Ahsin meyakinkan. Sejenak dia tersenyum menatap Nana. Lalu pandangannya berubah arah menatap bunga-bunga yang bermekaran. Belum sempat Nana menjawab, Ahsin sudah melanjutkan kata-katanya.
“seperti yang kau lihat juga.” Ahsin memalingkan wajahnya dan melihat Nana lagi.
“Ah… kau meniruku.” Ucap Nana.
“Kau juga sering meniruku.” Balas Ahsin dengan senyum kemenangan diwajahnya. Akhirnya Nanapun ikut tertawa juga.
“Itu kau sedang meniruku.” Celetuk Ahsin menunjuk Nana.
“Apa?” Tanya Nana tidak mengerti. Wajahnya menampakkan rasa bingung dan Ahsin tertawa karena itu.
“hahaha… Kau meniruku tertawa tadi. Hahaha..” kata Ahsin dengan penuh tawa diwajahnya.
“Hyaaa… “ seketika Nana berteriak kesal dan seketika juga Ahsin berlari menghindari amukan  Nana yang memuncak. Nanapun mengejar Ahsin yang berlarian ditaman itu. Ahsin terus mengejek Nana karena sering menirunya. Nanapun tidak terima dan terus mengejar Ahsin.  Merekapun akhirnya kejar-kejaran ditaman itu cukup lama. Sampai akhirnya mereka berdua kelelahan. Meskipun begitu Nana tetap berusaha mengejar Ahsin. Dengan napas terengah-engah Ahsin sekuat tenaga berlari. Hingga akhirnya dia menyerah dan berhenti. Nana yang juga sudah kelelahan pun berjalan pelan mendekati Ahsin. “Sudahlah. kau yang menang.” Kata Ahsin mengalah. Dia lalu duduk dirumput taman itu untuk meredakan napasnya yang terengah-engah.
“Baiklah. Aku sudah lupa.” Jawab Nana duduk disamping Ahsin.
Ahsin lalu merebahkan tubuhnya didiatas rumput. Matanya memandang langit lepas. “Cobalah.” Kata Ahsin sambil tangannya menepuk-nepuk rumput yang ada disampingnya. Dia mempersilahkan Nana untuk mengikutinya merebahkan tubuh diatas rumput sambil memandang langit. Nana masih saja diam sambil mengembalikan Napasnya yang terengah-engah. Karena sudah tidak sabar menunggu reaksi Nana, akhirnya dia menarik tangan Nana.
“Ayolah.” Akhirnya Nana mengikuti Ahsin merebahkan tubuhnya diatas rumput. Alhasil Ahsin dan Nana merebahkan tubuh mereka dirumput sambil memandang lepas langit yang menjadi atap mereka. Rasa lelah mereka diam-diam hilang dalam sekejab. Merekapun saling bercanda dan bercerita. Tiba-tiba Ahsin mengeluarkan sebuah jepit rambut kupu-kupu berwarna biru tua dari saku celananya. Nanapun terdiam memandang jepit rambut yang sangat indah itu.
“Ini.” Ucap Ahsin memberikan jepit rambut itu untuk Nana.
“Untukku?” Tanya Nana meyakinkan. Matanya pun tampak berbinar melihat jepit rambut itu.
“Iya. Ini untukmu.” Kata Ahsin tersenyum. masih tak percaya, Nana hanya diam saja. Belum sempat Nana menjawab, Ahsin sudah berkata “ sini, aku pasangkan.” Sambil menarik tangan nana untuk duduk. Setelah Nana duduk, Ahsin langsung memasangkan jepit rambut kupu-kupu itu dirambut Nana.
“Nah, dengan begini kan aku bisa melihat wajahmu dengan jelas.” Kata Ahsin lagi. Memang setiap bulan Ahsin selalu memberikan kado untuk Nana. Nana lalu memegang jepit rambut yang ada dirambutnya. Nana berdiri dan berpose bak seorang putri.
“Bagaimana? Cantikkan?” Puji Nana pada dirinya sendiri disertai gaya yang genit. Karena gaya Nana yang genit, Ahsin tertawa terbahak-bahak. Sambil tertawa Ahsin mengatakan bahwa Nana terlihat sangat aneh.
“Heh.. aneh bagaimana?” protes Nana dengan memasang wajah cemberut. 
“Bercanda Na. Kau terlihat cocok dengan itu.” Kata Ahsin yang masih tertawa.
“Baiklah kalau begitu. Terimakasih.” Ucap Nana seraya tersenyum. 
“Kau sedang apa tadi?” Tanya Ahsin kemudian. Tertawanya perlahan-lahan luntur dan digantikan sebuah senyuman.
“Membuat sketsa.” Jawab Nana berjalan menuju bangku kayu mengambil buku dan pensil yang tergeletak disana. Lalu dia kembali dan menunjukkan sketsa gambarnya pada Ahsin.
“Lumayan. Eh Na, buat sketsa wajahku ya? Please!” kata Ahsin memohon kepada Nana. Nana awalnya enggan, tapi Ahsin terus saja membujuk dan merengek seperti anak kecil. Karena berisik dengan celotehan Ahsin, akhirnya Nana menyetujui untuk mengambar sketsa Ahsin. Terlalu senang dengan keputusan Nana, Ahsin lompat-lompat gak jelas dan terus tertawa sambil menjerit-jerit aneh. Nana hanya memandangi Ahsin dengan senang.
“Sudahlah. cepat berpose.” Kata Nana mengarahkan Ahsin. Seketika Ahsin berhenti dari tingkahnya yang aneh dan mulai berpose lucu. Nana hanya tersenyum melihat tingkah laku Ahsin yang tidak jelas. Nana mulai menggambar sketsa wajah Ahsin. Disaat-saat Nana fokus menggambar, Ahsin selalu saja merusak konsentrasi Nana dengan bercanda dan usil. Karena itu Nana yang super galak selalu menyuruh Ahsin diam dengan suara kerasnya. Seketika Ahsin terdiam tanpa mengelak, tapi sesaat kemudian Ahsin mulai usil lagi. Dan begitu seterusnya. Nana juga selalu menahan senyumnya saat melihat Ahsin yang terdiam tanpa berkutik.
Langitpun semakin senja dan matahari terlihat diufuk barat. Daun-daun tanaman yang berada ditaman mulai layu menyambut datangnya petang sebentar lagi. Nana melihat langit dan menghentikan aktivitas menggambarnya. Diapun menutup bukunya dan mengajak Ahsin untuk kembali. Namun Ahsin yang masih ingin berlama-lama ditaman itu enggan untuk meninggalkan taman itu.
“Sketsanya kan belum selesai.” Protes Ahsin.
“Itu bisa dilanjutkan waktu yang akan datang. Ayolah, kau harus segera pulang” kata Nana membujuk.
“Baiklah. Tapi janji kau akan meneruskannya besok.” Kata Ahsin mengalah.
“Aku janji.” Kata Nana sambil berjalan meninggalkan Ahsin. Ahsin akhirnya mengikuti langkah Nana yang menjauh.
Mereka lalu masuk di halaman sebuah bangunan yang tidak terlalu besar. Sebuah papan nama tertancap dihalaman bangunan itu. Papan itu bertuliskan panti asuhan bernama Az-Zahra. Nana salah satu dari penghuni panti itu. Dia dibesarkan dipanti itu sejak usianya 9 tahun. Terlihat di halaman panti itu beberapa anak panti berlarian disana. Nana dan Ahsin hanya melihat mereka saja. Beberapa saat kemudian orang tua Ahsin menghampiri Nana dan Ahsin. Mereka lalu mengajak Ahsin untuk segera pulang. Orang tua Ahsin adalah donator dipanti itu. Setiap satu bulan sekali, mereka selau datang kepanti untuk memberikan santunan pada anak-anak panti yang dominan adalah yatim piyatu. Nana dan Ahsin sudah bersahabat sejak awal Nana tinggal dipanti ini.
“Na, aku pulang dulu ya.” Kata Ahsin berpamitan pada Nana. Tampak dari raut wajahnya dia enggan berpisah dari Nana. Begitupun dengan Nana yang enggan melepas kepergian Ahsin.
“Iya. Pulanglah. Hati-hati dijalan.” Jawab Nana.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Balas Nana.
Ahsin lalu berpamitan dengan anak-anak panti lain dan pengurus panti itu. Dengan berat hati, Ahsin masuk kemobilnya. Dia lalu membuka kaca mobilnya dan tersenyum pada Nana. Perlahan-lahan mobilnya berjalan dan mulai meninggalkan panti itu. Ahsin lalu melambai-lambaikan tangan tanda perpisahan. Begitupun Nana dan anak-anak panti lainnya yang membalas lambaian tangan Ahsin. Setelah mobil meninggalkan halaman panti itu dan sudah tidak terlihat lagi, semua penghuni panti masuk kedalam panti. Kecuali hanya Nana yang masih berada dihalaman menatap kepergian mobil Ahsin yang sudah tidak terlihat lagi. Sesaat kemudian, dia berjalan masuk kedalam panti. Sebelum dia masuk kedalam kamar, seorang gadis yang seumuran dengannya memanggilnya. Gadis itu bernama Agni. Disamping Agni, ada dua orang gadis lagi yang merupakan teman dari Agni. Mereka adalah Shiren dan Karin. Karena merasa dipanggil, Nana berhenti berjalan dan menoleh.
“Apa?” jawab Nana tanpa semangat. Rupanya dia telah mengetahui siapa yang memanggilnya tadi.
“Jepit rambut kupu-kupu itu dari Ahsin?” Tanya Agni.
“Benar.” Jawab Nana menatap Agni.
“Seharusnya itu milikku.” Kata Agni balas menatap Nana.
“Benar.” Kata Shiren membela Agni.
“Benarkah? Tapi, mengapa dia memberikannya padaku? Bukan kepadamu?” Tanya Nana pura-pura tidak tahu. Agnipun berteriak kesal Karena perkataan Nana itu. Seketika itu, anak-anak panti lainnya berdatangan ditempat Nana dan Agni.
“hyaa….!!! Seandainya kau tidak datang kepanti ini, jepit itu sudah mejadi milikku!” teriak Agni merebut jepit itu dari rambut Nana. Belum sempat Agni menggapai jepit itu, tangan Nana menghalangi Agni dengan memegang erat tangan Agni.
“Singkirkan tanganmu itu.” Kata Nana sambil menatap tajam Agni. Lalu Nana menghempaskan tangan Agni dengan kasar. Agnipun berteriak kesal pada Nana. Nana tidak peduli dan melanjutkan jalannya meninggalkan Agni yang terlihat sangat kesal. Beberapa langkah berjalan, Nana lalu menoleh kembali dan menatap Agni tajam. Nana lalu berkata pada Agni.
“Jika kau menginginkan jepit rambut ini, minta izinlah pada Ahsin, atau meminta Ahsin memberikannya padamu.” Kata Nana dengan nada pelan namun menusuk. Kata-kata Nana semakin membuat Agni kesal.
“Lihatlah. Kau akan menyesal Na!!!” teriak Agni mengancam. Nana tidak peduli dan meneruskan jalannya kembali. sampai dikamar, Nana menutup pintu dan menghela napas panjang. Dia lalu memegang jepit kupu-kupu yang tersemat dirambutnya. Dalam hati dia berkata, “Begitu sulitkah?”. Dia lalu menuju kekasur dan merebahkan dirinya dikasur.
“Kenapa lagi Na?” Tanya seorang gadis seumuran dengannya yang berada di kasur sebelah Nana.
“Itu Agni. Segitu bencinya kah dia denganku?” kata Nana menatap temannya yang bernama Dewi itu.
“Karena kau dekat dengan Ahsin, kulihat dia sering mencari masalah denganmu. Dia iri denganmu.” Kata Dewi memberi argument.
“Aku rasa juga begitu.” Jawab Nana menghela napas.
“Sudahlah. jangan dipikirkan lagi. Kan ada aku yang selalu siap membantumu.” Kata Dewi tersenyum pada Nana.
“Ok, baiklah.” Kata Nana membalas senyuman Dewi dengan senyuman. Mereka berduapun saling tersenyum satu sama lain.
***
Sebuah pagi yang cerah, Nana dan Dewi duduk dikursi kayu yang berada dipinggir lapangan kecil didepan panti asuhan itu. Mereka saling tertawa dan becanda. Mata Dewi lalu memandang sebuah mobil yang masuk kehalaman panti. Nana yang heran dengan Dewi yang terdiam dengan tiba-tiba, lalu Nana mengikuti arah pandang Dewi yang melihat sebuah mobil berhenti dihalaman panti.
“Siapa mereka, apakah itu Ahsin?” Tanya Dewi pada Nana. Nana yang hapal dengan mobil Ahsin pun menyanggah pertanyaan Dewi.
“Bukan. Itu bukan mobil Ahsin.” Kata Nana. Lalu keluarlah sepasang suami istri yang berjalan masuk kedalam panti.
“Mungkin mereka donator Wi.” Kata Nana lagi.
“Mungkin saja.” Balas Dewi. Mereka lalu tidak mempedulikan itu lagi dan bercanda kembali.
Beberapa saat kemudian, bunda memanggil semua anak-anak panti untuk berkumpul diruang aula. Nana dan Dewi pun berjalan menuju keaula. Sesampainya di aula, Nana dan Dewi melihat sepasang suami itu lagi. Diaula sudah terkumpul anak-anak panti, termasuk juga Agni CS didalamnya.
“Na, ada acara apa ini?” Tanya Dewi.
“Tidak tahu. Coba dengarkan saja.” Jawab Nana tidak tahu.
Bunda lalu mulai mengeluarkan suaranya. Bunda lalu memperkenalkan pasangan suami istri tadi.
“Anak-anak, perkenalkan beliau berdua adalah Pak Anton dan Bu Mirna. Mereka datang kesini untuk mengadopsi seoarang anak. Karena mereka tidak mempunyai anak.” Kata bunda memberikan informasi. Sesaat kemudian suara aulapun terdengar gaduh.
“Anak-anak diam.” Kata bunda menenangkan seisi ruangan aula. Seketika suara gaduh itu hilang. Semua anak panti terdiam.
“Sekarang bunda akan menyebut nama-nama calon untuk diadopsi dan telah dipilih oleh beliau berdua.” Kata bunda lagi. Semua anak panti terlihat gemetar dan takut jika nama mereka yang akan dipanggil. Begitu juga dengan Nana dan Dewi yang saling berepegang tangan dengan erat dan sekali-kali memjamkan mata berharap bukan mereka berdua. Kecuali hanya Agni yang terlihat biasa saja.
“karena berdua menginginkan anak perempuan dan agak remaja, maka bunda kan menyebut  tiga anak perempuan yang berumur sekitar 12 tahun. “ kata bunda lagi. Seketika Nana dan Dewi mempererat pegangan tangan mereka. Karena mereka berdua berumur sekitar 12 tahun.
“Mereka, Shiren, Agni, dan.. Dewi.” Kata bunda. Seketika tangan Nana dan Dewi lemas. Mereka saling menatap dan mata Dewi tampak berkaca-kaca.
“Na, bagaimana ini?” ucap Dewi dengan suara bergetar.
“Tidak apa-apa. Ini baru calon dan belum tentu.” Suara Nana menenangkan Dewi. Hatinya terasa sangat sesak dan ingin menangis. Bunda lalu menyuruh nama yang telah dipanggil untuk maju kedepan. Rasanya tangan Nana begitu berat melepaskan Dewi, begitu juga Dewi yang begitu berat melepaskan tangannya dari tangan Nana. Shiren, Agni dan juga Dewi akhirnya melangkah kedepan.
“Meskipun ini begitu berat, ini juga untuk hidup kalian .Silahkan untuk memilih Pak Anton dan Bu Mirna.” Kata bunda. Setelah berlangsung agak lama Pak Anton dan Bu Mirna mendekati Dewi. Dan terpilihlah Dewi untuk diadopsi.
Sekujur tubuh Nana bergetar dan lemas. Kakinya tak sanggup lagi untuk menopang tubuhnya yang baru saja mendengar keputusan yang sangat sakit untuk diterimanya. Matanya berkaca-kaca dan semakin lama air matanya menetes dengan sendirinya. Semua mata tertuju padanya. Matanya yang penuh dengan air mata menatap lekat sahabat satu-satunya dipanti ini. Dia hanya bisa diam tanpa bisa mengatakan sepatah katapun. matanya terus meneteskan air mata tanpa suara dan terus menatap Dewi.
Begitupun Dewi yang juga menatap Nana dengan lemas. Matanya yang sudah berkaca-kaca akhirnya mengeluarkan air mata yang tertahankan dikelopak matanya. Ingin rasanya dia mendekati Nana dan mengusap air mata Nana, namun apadaya tubuhnya terlalu lemas untuk melangakahkan kakinya  mendekati Nana. Hatinya terus memanggil nama tanpa bisa terucap dibibirnya.
“Dewi, kau terpilih untuk diadopsi oleh keluarga Pak Anton. Silahkan untuk membereskan baran-barangmu sekarang juga.” Kata bunda yang semakin menusuk-nusuk hati Nana. Seketika Nana dan Dewi  terkejut dengan keputusa yang tba-tiba ini. Dengan lemas Nana bertanya.
“Sekarang bun?” Tanya Nana lemas.
“Iya, karena besok pagi keluarga Pak Anton akan langsung pindah ke Korea untuk menjalankan bisnisnya. Jadi Dewi akan ikut bersama keluarga Pak Anton ke Korea.” Kata bunda menjelaskan.
“Korea?” kata Nana pelan. Negara yang sangat jauh dari pandangan matanya. Negara yang mungkin tidak mampu untuk didatanginya. Penjelasan inilah yang membuat Nana tidak mampu menopang tubuhnya dan akhirnya dia terjatuh. Nana kemudian menatap Dewi yang telah menangis tersedu-sedu. Dengan keadaan yang mendesak ini, akhirnya Dewi mampu berjalan mendekati Nana dan memeluknya.
“Bunda, kurasa ini tidak…” belum sempat Dewi mengatakan sesuatu, Nana telah memotong perkataan Dewi.
“Baiklah bun, Dewi akan pergi. Ayo aku bantu beres-beres Wi.” Kata Nana melawan hatinya. Lalu Nana menarik tangan Dewi menuju kekamar. Sampai dikamar, Dewi tidak mengerti dengan maksud Nana tadi.
“Apa maksudmu Na. ini bukan keinginan hati kita. Jika aku menolak, maka semua ini bisa dicegah.” Ucap Dewi dengan kesal.
“Dengarkan aku Wi. Korea adalah Negara impian kita. Kau ingin melihat salju dan bunga sakura kan. Disanalah tempatnya?” kata Nana menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. Nana lalu berkata dalam hati, “Dewi. Semua ini demi kebaikanmu Wi, kau akan hidup lebih baik dari ini. Dan kau juga akan menempuh pendidikan yang  baik disana.”
“Tapi Na, aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri. Aku akan bilang pada bunda bahwa aku menolak.” Kata Dewi dengan air mata yang terus menetes dan bergegas menuju pintu.
“Baiklah kalau begitu. Tinggal saja disini. Tapi aku akan berterus terang. Jangan sekamar lagi denganku! Selama ini aku selalu membencimu1 Kau selalu menggangguku! Kau selalu merusak momenku bersama Ahsin!” kata Nana tajam menatap Dewi. Itu sebenarnya bukanlah kata yang keluar dari hatinya. Namun dengan cara inilah bisa membuat Dewi bisa pergi tanpa memikirkan dirinya. “Dewi, aku minta maaf.” kata Nana dalam hati.  
“Nana.” Kata Dewi menoleh kearah Nana.
“Kau selalu sok tahu tentang urusanku! Padahal aku tidak butuh semua pedulimu!” teriak Nana dengan tatapan tajam.
“Cukup Na, ini bukan dirimu.” Kata Dewi menenangkan Nana dengan menyentuh bahu Nana.
“Singkirkan tanganmu dari tubuhku. Aku jijik dengan tanganmu. Kau hanya pengikutku.” Kata Nana mengempaskan tangan Dewi dengan kasar dari bahunya. “Wi, maaf kan aku. Cepat pergilah.” Teriak Nana dalam hati.
“Cukup Na!!! apa maksudmu Na?” Tanya Dewi dengan mata terus menangis.
“Apa kau tidak paham juga? Kau orang tak berguna yang selalu mengikutiku! Aku sangat benci kepadamu!”. Kata Nana dengan kejam.
“Apakah ini yang sebenarnya Na? Teganya kau Na. aku benar-benar bodoh. aku kira kau sahabat, ternyata kau…” kata Dewi kecewa.
“Aku benar-benar minta maaf Wi. Kuharap kau tidak membenciku. Aku benar-benar minta maaf.” Kata Nana dalam hati.
“Baiklah, jika kau sudah mengerti.” Kta Nana yang bertentangan dengan hatinya.
“Ok, aku akan pergi. Maaf jika telah membuat kesal dirimu.” Kata Dewi seraya mendekati almarinya.
“Dewi, maafkan aku. Seharusnya aku yang meminta maaf, bukan dirimu. Jangan benci diriku Wi.” Kata Nana dalam hati dan membelakangi Dewi yang sedang beraa didepan almarinya. Dengan perasaan berkecamuk Dewi mulai memasukkan barang-barangnya kedalam tas. Dia lalu melihat sebuah boneka kecil pemberian Nana untuknya. Dia lalu meninggalkan boneka itu dialmari yang telah kosong. Tanpa mengucap sepatah katapun, Dewi meninggalkan kamar yang tinggal Nana sendirian dikamar itu dengan membanting pintu dengan keras. Airmatanya pun terus mengalir dipipinya.
Dalam kamar, Nana sendirian menangis melepaskan sahabatnya yang akan pergi jauh. Tempat yang sangat jauh untuk digapai. Dia lalu mendekati almari Dewi dan membukanya. Kosonng dan baju-baju Dewi telah tiada. Hanya sebuah boneka kecil pemberiannya sebagai kado ulang tahun Dewi yang ke 11. Ulang tahun pertama semenjak Dewi masuk kepanti ini. Nana tiga tahun lebih dulu masuk kepanti ini. Dia lalu mengambil boneka itu dan sebuah kertas kecil terselip di baju boneka kecil itu. Kertas itu bertuliskan.
“Nana, jaga dirimu dan maaf.” Sebuah kalimat yang sangat dalam sebagai ucapan perpisahan. Tangis Nanapun pecah dan tubuhnya memeluk erat boneka kecil peninggalan terakhir untuknya. Lalu terdengarlah suara mobil yang mulai meninggalkan halaman panti itu. Nana lalu berlari keluar panti dan melihat mobil yang membawa Dewi pergi. Dia lalu berlari mengejar mobil itu. Namun sayang, mobil telah berjalan menjauh dan Nana tidak bisa mengejar mobil itu. Mobil semakin menjauh dan Nana sudah tidak bisa mengejarnya lagi. Dia terjatuh dijalan dan menangis histeris. Dia terduduk ditengah jalan dengan air mata yang terus mengalir deras.
“Dewi maafkan aku!!” Teriak Nana. Kata yang sudah tidak bisa didengar oleh Dewi. Kata yang belum sempat dapat diucapkan langsung untuk Dewi. Kata yang hanya mampu diucapakan dalam hati saja.
***












Tidak ada komentar:

Posting Komentar