Selasa, 10 Maret 2015

Cermin Sakura episode 2



                        2

            Matahari pagi mulai tampak meninggi dilangit yang tidak terlalu cerah. Secercah cahayanya mampu menembus gumpalan awan yang agak menghitam menuju celah-celah bangunan panti. Secercah cahayanya masuk kedalam sebuah kamar yang terlihat sepi. Karena secercah cahaya itu, kamar yang tampak gelap itu mulai terlihat agak terang. Terlihat Nana dengan posisi duduk bertelungkup dilantai sebelah kasur kamar itu. Pelan-pelan dia mengangkat kepalanya. Wajahnya yang bengkak dan rambutnya yang terlihat acak-acakan menunjukkan bahwa dia sudah seperti itu beberapa. Lebih tepatnya sudah tiga hari dia tidak makan atau mandi ditandai dengan bajunya yang masih sama seperti tiga hari yang lalu ketika kepergian Dewi. Matanya sembab dengan air mata yang sudah tidak menetes lagi. Mungkin kantong air matanya telah kering karena sudah tiga hari tiga malam terus menetes keluar. Pancaran matanya menunjukkan sebuah rasa kehilangan yang mendalam. Tangannya memegang sebuah boneka kecil peninggalan Dewi yang terakhir. Tiba-tiba, pintu terbuka dan masuklah Agni CS menhampiri Nana yang masih duduk dilantai.
“Aku senang kau seperti ini. Tapi kau seperti ini menyusahkan kami.” Agni melihat keadaan Nana yang memprihatinkan.
“Cepat makanlah! Karena kau, kami terus disuruh bunda untuk membujukmu.” Shiren menimpali. Nana hanya diam saja tak membalas Agni CS.
“Ah, kau sungguh menjengkelkan!” kata Karin menunjuk Nana. Nana masih diam saja. Agni lalu mengajak teman-temannya untuk meninggalkan Nana. Tinggallah Nana sendirian dikamar itu lagi.
Beberapa minggu kemudian, Nana masih terus saja diam. Mungkin hanya beberapa kata saja yang telah diucapkan Nana beberapa minggu ini. Dia hanya berbicara untuk hal yang penting saja. Namun dia telah melakukan aktivitasnya seperti biasa meskipun dengan kata yang sangat minim. Setiap malam tiba, dia selalu melihat sekeliling ruang kamarnya dan melihat kasur Dewi yang berada disamping kasurnya. Dimana dulu dia pernah bercanda dan tertawa dikamar itu.
                                                            ***
            Tenggelam dalam keterpurukannya, Nana tidak menyadari bahwa hari ini adalah hari kedatangan Ahsin kepanti asuhan. Nana berjalan gontai keluar dari kamarnya. Langkahnya terhenti diberanda panti asuhan itu. Matanya meandang langit lepas yang tampak cerah. Pandangan matanya berubah arah menatap hamparan rumput dilapangan yang tidak jauh dari tempatnya berada. Tatapan matanya sayup tak bersemangat. Ahsin yang baru saja sampai dip anti langsung mencari keberadaan Nana. Tampaknya dia ingin menyampaikan sesuatu yang penting untuk Nana. Dia lalu melihat Nana yang tengah berdiri diberanda panti. Nana lalu berjalan menuju bangku kayu dilapangan yang terus ditatapnya. Ahsin lalu tersenyum melihat Nana yang mulai berjalan. Ahsin pun berniat berjalan menghampiri Nana. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika mendapati Nana yang terus berjalan tanpa menyadari keberadaannya. Senyumnya seketika menghilang. Matanya lalu melihat langkah gontai Nana yang tanpa semangat, lalu melihat tatapan mata Nana yang terlihat sendu dan kosong. Nana terus berjalan melewatinya
“Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Terakhir kali dia tidak seperti ini.” batin Ahsin tidak mengerti dengan keadaaan Nana yang aneh. Ahsin lalu memanggil seorang anak panti yang melintas didepannya.
“Nana kenapa? Apa yang terjadi dengannya?” Tanya Ahsin masih tetap melihat Nana yang berjalan menjauh.
“Oh dia, Nana sekarang aneh. Dia selalu diam sejak Dewi diadopsi dan dibawa ke Koera.” Jawab anak laki-laki panti yang ditanyai oleh Ahsin.
“Korea?” Tanya Ahsin meyakinkan.
“Iya. Aku duluan ya.” Kata anak panti itu berlalu meninggalkan Ahsin yang masih berdiri melihat Nana yang sudah duduk dibangku ditepi lapangan.
Nana masih diam memandang hamparan luas lapangan. Tiba-tiba sebuah tangan memegang pundaknya dan mengagetkannya. Namun Nana sama sekali tidak bereaksi. Ahsinpun mengikuti Nana duduk setelah aksinya mengejutkan Nana gagal.
“Nana, ada apa?” Tanya Ahsin melihat Nana.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Ahsin lagi. Akhirnya Nanapun membuka mulutnya untuk sahabat satu-satunya yang tersisa.
“Dewi pergi Ahsin.” Kata Nana dengan suara samar dan bergetar. Tangisnya seketika pecah. Ahsin lalu mencoba menenangkan Nana dengan memeluknya. Karena Ahsin sudah tahu, maka Ahsin mencoba mencari penyebab perubahan sikap Nana.
“Aku mengerti. Tapi… kenapa kau jadi seperti ini?” Tanya Ahsin lagi.
“Mungkin dia sekarang sangat membenciku. Karena aku yang menyuruhnya pergi. Dan aku mengatakan hal yang kasar yang seharusnya tidak aku ucapkan.” Kata Nana dengan mata berkaca-kaca. Ahsin lalu melepaskan pelukannya pada Nana.
“Jadi seperti itu. Sudah Na, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku tahu kau melakukan itu demi Dewi kan?”
“Iya aku tahu. Tapi ini…” kata Nana yang sudah terpotong oleh perkataan Ahsin.
“Dia tidak akan membencimu Na. sudahlah.. kau tidak usah menyalahkan dirimu sendiri Na. kau tidak bersalah. Kau melakukan hal yang benar Na.”
“Iya.” Jawab Nana singkat.
“Jadi sekarang kau harus tersenyum Na.” ucap Ahsin sambil menarik kedua susut bibir Nana dengan jarinya. Dia lalu memandang lekat wajah Nana.
            “Maafkan aku Na. aku juga harus pergi jauh sama seperti Dewi. Aku tak sanggup mengatakan semua ini degan keadaanmu yang memprihatinkan seperti ini” Kata Ahsin dalam hati. Kabar penting yang ingin disampaikan Ahsin tadi adalah tentang kepergiannya. Namun melihat kondisi Nana yang sulit, Ahsin tak mampu mengatakannya. Matanya berkaca-kaca dengan sebuah senyuman diwajahnya. Senyum palsu, senyum yang tidak datang dari hatinya. Senyum palsu yang digunakan untuk menghibur Nana.
“Ahsin terimaksih, kau telah ada sisiku.” Kata Nana dalam hati.
“Nana maafkan aku. Besok aku harus pergi meninggalkanmu.” kata Ahsin dalam hati yang menjawab perkataan Nana yang juga dalam hati. Sekarang mata Nana sudah tidak meneteskan air mata lagi. Yang tersisa hanya wajahnya yang masih terlihat bengkak.
Ahsin menyuruh Nana untuk menutup matanya. Nana menuruti perintah Ahsin dengan menutup matanya.  Tangan Ahsin merogoh saku celananya. Sebuah kalung berwarna silver dengan bandul berbentuk kupu-kupu tergantung ditangannya. lalu dia mendekatkan kalung itu tepat didepan wajah Nana. Dengan senyum diwajahnya Ahsin menyuruh Nana membuka matanya.
“Bukalah matamu.” Nana kemudian membuka matanya dan terkejut melihat sebuah kalung yang tergantung didepannya. Diapun bertanya kepada Ahsin bahwa dia tidak mengerti dengan maksud Ahsin.
“Ini untukmu.” Jawab Ahsin dengan senyum diwajahnya.
“Tapi,ini…” kata-kata Nana terpotong begitu saja oleh perkataan Ahsin.
“Sudahlah. ini untukmu.” Ahsin lalu mencoba memakaikan kalung indah tersebut pada leher Nana. Nanapun berusaha untuk menolak.
“Sudah, jangan protes. Pakai saja ini.” Kata Ahsin terus memakaikan kalung itu. Nana hanya diam saja menurut.
“Sudah selesai.” Kata Ahsin terenyum. Kemudian dia melanjutkan lagi. “Terlihat bagus kau pakai.” Nana lalu meraba kalung yang telah terpasang dilehernya. Matanya berbinar bahagia. Terdengar suara hati Ahsin yang begitu sedih.
“Nana maaf. Terimalah ini sebagai hadiah perpisahan dariku. Aku benar-benar minta maaf.” Mata Ahsin terlihat sangat sedih. Tapi Nana yang senang sama sekali tidak melihat wajah Ahsin yang terlihat murung. Nana lalu tersenyum melihat ahsin yang berda disampingnya. Namun Ahsin yang dilihat Nana kembali memunculkan senyum yang berlawanan dengan hati Ahsin yang sebenarnya. Untuk menutupi rasa murungnya, Ahsin meminta Nana untuk mengantarkannya keliling panti. Nana dengan senang hati menerima permintan Nana tanpa curiga sedikitpun. Nana kemudian berdiri dan mengajak Ahsin untuk berkeliling.
“Kita akan mulai dari mana?” Ahsin diam dan melihat Nana yang sudah bisa tersenyum. kemudian Ahsin berkata, “Terserah kau saja Na. aku mengikut saja.” Senyum Nana pun mengembang lagi.
“Baiklah, tour keliling panti akan segera dimulai. Semoga anda menikmati tour ini.” Kata Nana dengan gaya bicara bak seorang pemandu wisata. Ahsin hanya tersenyum melihat tingkah aneh Nana. Nana pun mulai berjalan an didikuti Ahsin yang berada dibelakangnya. Dari belakang Ahsin tampak melihat Nana yang didepannya dengan wajah muram dan bersalah.
“Aku menyukaimu Na, sangat menyukaimu.” Batin Ahsin melihat sosok Nana yang berda didepannya. dalam perjalanan, Nana terus mengoceh menjelaskan semua tempat yang dilihatnya disekitar panti. Namun Ahsin yang diberi penjelasan sama sekali tidak memperhatikannya. Ahsin tenggelam dalam pikirannya yang amat kacau. Disisi lain dia tidak ingin meninggalkan Nana. Namun disisi lainnya dia harus pergi. Ahsin terus berperang dengan kata hatinya.
“Haruskah aku memberitahunya bahwa aku harus pergi?”
“Tidak. Nana tidak boleh tahu. Dia baru saja sembuh dari luka hatinya.”
“Apakah aku terlalu kejam. Aku tidak sanggup meninggalkannya.”
Hatinya terus berkecamuk. Ahsin frustasi. Tangannya mulai megacak-acak rambutnya. Tanpa sengaja, suara jeritan putus asanya terdengar ditelinga Nana. “Ahsin, kau baik-baik saja kan?” Ahsinpun tersadar dari lamunannya yang sangat dilemma dengan suara hatinya.
“Eh, iya Na. tidak apa-apa.” Jawab Ahsin memberi alasan. Nana tampak bingung dengan jawaban Ahsin.
 “Ayo,lanjutkan tour kita.” Kata Ahsin mengalihkan perhatian Nana. Nana hanya memainkan wajahnya dan mengangkat pundaknya bahwa tidak terjadi apa-apa dengan Ahsin. Nana lalu melanjutkan langkahnya lagi.
“Untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati sisa waktuku disini bersamamu Na. aku harap kau tidak membenciku. Maaf aku tidak bisa memberitahumu langsung. Jangan marah padaku.” Kata Ahsin terus berkata dalam hati. Suara Nana yang tiba-tiba menyadarkan lamunan Ahsin lagi.
“Kau ingin kemana lagi. Semua tempat dipanti telah kita datangi.”
“Eh, terserah kau saja Na.” jawab Ahsin tersenyum lalu melanjutkan perkataannya. “Kesana. Kita belum kesana kan?” Tanya Ahsin cepat dengan menunjuk sebuah bangunan kecil diujung panti. Rupanya Ahsin ingin menikmati panti yang akan ditinggalkannya. Bisa dibilang panti ini adalah panti yang sangat penting baginya. Nana lalu tertawa dengan ajakan Ahsin untuk menuju tempat itu.
“Haha… Apa kau sudah lupa? Itu adalah gudang. Kau mau masuk kesana?” kata Nana dengan masih tertawa. Ahsin yang melihat Nana tertawa pun ikut tertawa juga. Namun tertawanya tanda malu. Perlahan tertawanya hilang ketika melihat Nana yang tertawa lepas.
“Aku harus mengatakannya.” Batin Ahsin lagi.
“Nana…” suara Ahsin yang membuat Nana terdiam menghentikan tertawanya.
“Ada apa Ahsin?” Tanya Nana penasaran dengan panggilan Ahsin yang terdengar sangat lemah. Suara batin Ahsin kembali terdengar.
“Tidak.. aku tidak boleh memberitahunya.”
“Ahsin?” Tanya Nana lagi.
“Eh Na. tidak apa-apa.” Jawab Ahsin tidak jadi memberitahu Nana.
Nana yang mendengar pernyataan Ahsin yang tidak apa-apa jadi merasa aneh. Dia lalu bertanya pada Ahsin untuk mengobati rasa penasarannya.
“Sebenarnya ada apa Ahsin? Tidak biasanya kau bersikap seperti ini.” Tanya Nana penasaran. Ahsin yang terdiam mulai melontarkan perkataannya.
“Nana, sebenarnya… sebenarnya aku lelah terus berjalan dari tadi.” Kata Ahsin mencoba member alasan. Seketika Nana tertawa mendengar  pernyataan Ahsin.
“haha..kau begitu lucu Sin. Haha… baiklah ayo kita istirahat.” Kata Nana dengan masih tertawa. Nana lalu membimbing Ahsin menuju tempat duduk yang berada tidak jauh dari sana. Ahsin dan Nana kemudian duduk di kursi itu. Tak beberapa lama, Agni muncul diantara mereka.
“Ahsin..” panggil Agni yang sudah berdiri didepan Ahsin. Lalu melihat Nana yang ada disamping Ahsin dengan tatapan tidak suka.
“Ahh.. rupanya kau bersama Nana.”
“Iya, ada apa?” jawab Ahsin tanpa semangat. Agni seketika memegang tangan Ahsin dan menariknya. Otomatis Ahsinpun ikut berdiri.
“Ayo ikut aku Sin, Na aku pinjam Ahsin ya?” kata Agni dengan tatapan sinis. Nana yang tidak ingin ada keributan pun membiarkannya. Ahsin yang tahu bahwa ini adalah saat-saat terakhir dengan Nana pun menghentikan langkahya. Dia lalu melihat Nana yang masih duduk. Dia lalu melepaskan tangan Agni yang berada dilengannya.
“Maaf Ni. Saat ini aku hanya ingin bersama Nana.” Agni pun tak percaya dengan perkataan Ahsin dan menatap Ahsin. Begitupun Nana yang tengah duduk juga  menatap Ahsin.
“Ahsin, ayolah ikut aku.” Bujuk Agni memegang tangan Ahsin lahi.
“Maaf aku tidak bisa.” Kata Ahsin sambil melepaskan tangan Agni lagi. Tampak mata Agni terlihat berkaca-kaca. Nana masih tetap melihat kearah keduanya. Sesaat Agni memejamkan matanya, kemudian membuka matanya dan menatap Nana tajam. Nana yang ditatap Agni tajam hanya melihatnya saja dengan rasa bersalah.
“Nana, aku sangat membencimu…” ucap Agni dengan nada geram. Nana yang dikatakan seperti itu hanya diam saja. Dengan kesal, Agni berjalan meninggalkan keduanya. Dengan perasaan yang berkecamuk, Agni berjalan melewati beberapa anakan tangga. Tiba-tiba kakinya kesleo dan membuatnya terjatuh. Kepalanya membentur sebuah batu hiasan yang tidak jauh dari sana. Nana dan Ahsin terkejut melihat Agni terjatuh
“Agni, awas….!!!” Teriak Nana yang melihat Agni terjatuh. Mereka lalu mengampiri Agni yang jatuh tengkurap. Nana mendekati Agni dan tambah terkejut melihat Agni yang tidak sadarkan diri dengan darah yang terus mengucur dari kepalanya. Ahsin yang berada disisi Nana pun juga tampak panik.
“Agni! Bangun Agni… ayo bangun!” teriak Nana lagi. Seketika anak-anak panti lainnya berdatangan kearah Nana. Semuanya panik. Bunda pun datang dan menyuruh agar Agni dibawa kedalam. Nana pun berniat ikut kedalam. Namun tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang. Ahsin yang menarik Nana.
“Nana, aku harus mengatakan sesuatu untukmu.”
“Ahsin lain kali saja. Aku harus menemani Agni didalam.” Kata Nana melihat kearah dalam.
“Tidak bisa. Harus sekarang Na. aku akan segera pulang.” kata Ahsin lagi. Nana yang buru-buru ingin melihat keadaan Agni segera berlari meninggalkan Ahsin.
“Jika, kau akan pulang. Maka pulanglah. Sampai jumpa!!” teriak Nana yang suah berlari meninggalkan Ahsin. Ahsin berniat mengejar Nana, namun orang tua Ahsin memanggilnya dan menyuruhnya cepat untuk masuk kemobil.
“Nana…!!!” teriak Ahsin memanggil Nana. Lalu dia berkata lagi.,
“Na, aku harus pergi!” Namun Nana yang sudah berlari jauh tiak bisa mendengar perkataan Ahsin.
“Nana, maaf kan aku. Semoga kau baik-baik saja.” Kata Ahsin perlahan. Lalu Ahsin masuk kemobil dan meninggalkan panti asuhan itu.
Didalam kamar Agni yang penuh dengan anak-anak panti lainnya, Nana melihat Agni yang sudah tersadar dari pingsannya. Dia berjalan mendekati Agni yang tengah dipasang perban. Agni melihat kedatangan Nana dan mengingat kembali kejadian tadi. Dimana Ahsin menolak ajakan Agni karena Nana. Agni menatap tajam Nana dan menunjuknya.
“Dia, adalah pelakunya.” Kata Agni tajam. Semua anak panti pun bertanya-tanya dengan maksud Agni.
“Nana, dia yang melakukan semua ini padaku.” Kata Agni lagi. Nanapun tidak mengerti dengan perkataan Agni.
“Apa maksudmu Ni, aku yang melakukan? Apa maksudmu?” Tanya Nana tidak mengerti.
“Nana yang mendorongku higga aku terjatuh dan terluka.” Kata Agni berbohong.
“Itu tidak mungkin. Siapa yang mendorongmu? Aku sama sekali tidak mendorongmu Ni.” Kata Nana membela dirinya sendiri. Semua anak panti mulai berkasak-kusuk melihat Nana dan Agni.
“Kau yang mendorongku!!” kata Agni dengan nada keras.
“Kau berbohong kan Ni? Aku tidak mendorongmu. Kau ksleo di tangga.” Kata Nana memberikan pembelaannya lagi.
“Kau berbohong. Kau mendorongku. Kau tidak menyukaiku kan Na? karena aku selalu bersikap buruk padamu. Jadi kau mendorongku karena kau tidak menyukaiku!!” Teriak Agni.
“Aku memang tidak menyukaimu, tapi bukan berarti aku yang mendorongmu!” teriak Nana balik.
“Aku melihatmu mendorongku Na! jujurlah!” teriak Agni lagi.
“Jujur? Aku sudah jujur Ni. Aku sama sekali tidak mendorongmu.” Jawab Nana pelan.
“Tapi kau ada dibelakangku saat itu kan?” Tanya Agni emosi.
“Iya, aku ada dibelakangmu saat itu.” Kata Nana mengaku.
“Sudah terbukti kan! Itu artinya kau yang mendorongku. Mengakulah Na!” teriak Agni lagi dengan kesal. Semua anak panti yang mendengar perkataan Agni mulai mempercayai perkataan Agni jika Nana yang telah melakukannya.
“Ahsin… Ahsin juga melihat kau tersleo dan jatuh dari tangga sendiri. Ahsin, dimana kau?” ucap Nana melihat sekeliling ruangan.
“Jujurlah Na. Ahsin tidak ada disana saat kejadian. Dia sudah pulang. Aku saksinya.” Ucap Shiren yang mengaku melihat kejadian.
“Aku juga melihatnya. Nana mendorong Agni.” Kata Karin yang juga mengaku melihat kejadian.
“Itu tidak benar… Ahsin bersamaku saat itu. Aku akan meminta kesaksian Ahsin besok untuk mengatakan yang sebenarnya.” Mata Nana sudah berkaca-kaca.
“Percuma Na, Ahsin tidak akan datang lagi kepanti asuhan ini. Dia akan pergi jauh. Mengakulah Na, dan minta maaflah pada Agni.” Celetus Shiren yang terus membela Agni.
“Ahsin pergi? Tidak mungkin…” kata Nana dalam hati.
“Aku tidak akan minta maaf. Aku tidak bersalah. Mengapa kalian tidak percaya padaku!” Jawab Nana dengan nada tinggi dengan masih terus membela diri sambil melihat seisi ruangan. Anak-anak panti lainnya hanya diam saja.
“Nana..!!! jika bersalah mengakulah dan minta maaflah pada Agni.” Kata Karin dengan nada tinggi. Nana lalu mendekati bunda yang hanya diam saja melihat Nana yang terus dipojokkan.
“Iya, kami semua juga melihatnya mendorong mbak Agni!” teriak anak perempuan panti lain yang berada diruangan itu. Semua mata langsung mengarah padanya. Tiba-tiba seorang anak lagi mengaku juga melihatnya, diikuti dengan beberapa anak-anak panti lain.

Flash back
Agni hampir terjatuh ditangga dan Nana berlari menghampiri Agni. Diikuti Ahsin yang berlari dibelakang Nana. Belum sempat Nana memegang, Agni telah jatuh terlebih dahulu. Teriakan Agni yang cukup keras mengundang beberapa anak panti langsung mendekatinya. Namun anak-anak panti telah melihat Agni jatuh tak sadarkan diri dengan Nana yang berdiri dibelakangnya.
Flash bac and  

“Bunda… apakah juga tidak percaya padaku?” Tanya Nana dengan mata yang masih berkaca-kaca.
“Maaf Na, bunda ingin percaya padamu. Tapi, semua saksi mengarah padamu. Maaf bunda tidak bisa membelamu.” Jawab bunda dengan rasa bersalahnya. Mendengar jawaban bunda, tangis yang ditahan Nana pecah. Air mata derasnya mengalir dipipinya. Agni yang melihat Nana menangis tersenyum licik.
“Apakah kalian tidak mempercayaiku? Mengapa kalian tidak mempercayaiku? Apa yang salah denganku?” teriak Nana dengan air mata yang terus mengalir.
“Nana mengakulah dan minta maaflah pada Agni!” balas Shiren dengan teriakan pula. Semua anak panti ikut menyudutkan Nana dan terus meminta Nana untuk mengaku dan meminta maaf. Air matanya terus keluar karena ketidak adilan yang diterimanya.
“Aku tidak akan minta maaf.! Itu bukan salahku!!” teriak Nana yang merasa dirugikan. Namun desakan dan sikap anak-anak panti yang menyudutkannya membuat pertahannya pecah. Agni yang melihat keadaan Nana, diam-diam terus terseyum licik.
“Aku benci kalian!!!!” teriak Nana berlari meninggalkan tempat yang membuatnya penuh air mata dan membuatnya sesak. Dia berlari dan terus berlari tanpa mempedulikan teriakan anak-anak panti yang terus menyorakinya.
Nana masih terus berlari keuar meninggalkan panti asuhan. Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Sekali-kali tangannya mengusap air matanya yang terus mengalir keluar. Pikirannya kacau dengan peristiwa buruk yang dia alami. Pikirannya teringat dengan perkataan Shiren yang mengatakan bahwa Ahsin telah pergi meninggalkannya. Hingga dia sampai disebuah taman yang biasa ia datangi. Dia berlari mendekati bangku kayu yang berada disudut taman. Nana terus menangis tanpa henti. Dia lalu menyandarkan kepalanya dibangku taman dengan posisi duduk diantara rerumputan. Dalam tangisannya, dia terus menyebut-nyebut nama Ahsin. Pikirannya terus mengatakan bahwa Ahsin tidak mungkin pergi meninggalkannya. Dua kejadian telah mengobrak-abrik hatinya. Kepergian Ahsin sekaligus fitnah yang menimpanya telah menjadi bumerang yang menancap dihatinya.
“Ahsin itu bohong kan. Kau tidak pergi kan?” Kata Nana dengan suara bergetar karena menagis.
“Ahsin… semua orang disini tidak ada yang percaya padaku. Tapi, kau percaya padaku kan?” kata Nana dengan suara terisak-isak. Sebuah suara tiba-tiba membalas perkataan Nana.
“Aku tidak akan pergi. Aku percaya padamu, Nana..” Nana berbalik dan melihat Ahsin berdiri dibelakangnya dengan tersenyum. Nana menghampiri Ahsin dan berupaya menyentuhnya. Tiba-tiba Ahsin menghilang. Itu hanya bayangan Ahsin yang dilihat Nana. Ahsin tidak ada disana. Tangis Nana pun semakin menjadi-jadi. Tidak ada yang percaya padanya. Semua teman meninggalkannya sendirian. Tidak ada tempat untuknya bersandar. Nana terus menumpahkan air matanya ditaman itu.
Hampir tengah malam, Nana baru kembali ke panti. Matanya sembab dan penampilannya acak-acakan. Lebih parah dari keterpurukannya kemarin saat ditinggal Dewi. Ini lebih hancur dan menjadi penyakit yang menghancurkannya. Dia berjalan kekamarnya tanpa semangat dan tanpa tenaga sama sekali. Sampai kamar, dia hanya duduk dilantai bersandar diranjang tempat tidur. Tatapan matanya kosong dengan air mata yang terus menetes dipipinya. Kedua sahabat yang dipercayainya telah pergi jauh. Tanpa sandaran, dia hanya memikul beban berat sendiri yang menghantam hatinya. Bibirnya terus bergetar memanggil Ahsin dan terus memanggil Ahsin.
Sampai pagi tiba pun Nana sama sekali tidak memejamkan matanya. Tatapan matanya masih saja kosong. Posisinya juga masih sama yaitu duduk dilantai dengan bersandar pada pinggiran ranjang. Seorang anak perempuan masuk dikamarnya dan memberikan sebuah surat dengan sapul berwarna merah.
“Ini ada surat untukmu.” Kata anak perempuan itu sambil berlalu dari kamar Nana. Tatapan matanya perlahan melihat surat yang tergelatak tidak jauh darinya. Nana lalu mengambil surat itu. Pelan-pelan Nana membuka surat itu dan mulai membacanya. Perlahan air matanya menetes kembali.
Nana,
Na, Aku minta maaf. Benar-benar minta maaf. Maaf tidak bisa memberitahumu secara langsung. Aku pergi Na. pergi ketempat yang jauh. Jauh dari pandangan matamu. Kemarin aku bimbang untuk memberitahumu. Kau yang baru sembuh dari luka hati akibat kepergian Dewi sungguh membuatku sulit untuk mengatakannya. Aku takut senyum yang baru megembang diwajahmu akan  segara berakhir. Aku tak ingin membuatmu bersedih kembali. meskipun akhirnya kau akan bersedih karenaku.
Kemarin aku ingin mengatakan semuanya secara langsung. Tapi kau sama sekali tidak memberikanku waktu dan berlari meninggalkanku. Aku ingin mengejarmu, tapi tak ada cukup waktu untuk melakukannya. Na, aku benar-benar minta maaf. Kemarin sebagai hadiah terakhir sekaligus hadiah perpisahan dariku. Sungguh aku tak ingin meninggalkanmu. Tapi aku tidak bisa melakukan itu. Aku tetap harus pergi.
Na, aku mohon kau jangan besedih atau menangis lagi. Terimaksih telah menjadi sahabat sekaligus seseorang yang telah memberiku kenangan yang indah. Aku mohon jagan membenci diriku.
Aku akan selalu merindukanmu.
                                                                                    Ahsin

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar