2
Matahari
pagi mulai tampak meninggi dilangit yang tidak terlalu cerah. Secercah
cahayanya mampu menembus gumpalan awan yang agak menghitam menuju celah-celah
bangunan panti. Secercah cahayanya masuk kedalam sebuah kamar yang terlihat
sepi. Karena secercah cahaya itu, kamar yang tampak gelap itu mulai terlihat
agak terang. Terlihat Nana dengan posisi duduk bertelungkup dilantai sebelah
kasur kamar itu. Pelan-pelan dia mengangkat kepalanya. Wajahnya yang bengkak
dan rambutnya yang terlihat acak-acakan menunjukkan bahwa dia sudah seperti itu
beberapa. Lebih tepatnya sudah tiga hari dia tidak makan atau mandi ditandai
dengan bajunya yang masih sama seperti tiga hari yang lalu ketika kepergian
Dewi. Matanya sembab dengan air mata yang sudah tidak menetes lagi. Mungkin
kantong air matanya telah kering karena sudah tiga hari tiga malam terus
menetes keluar. Pancaran matanya menunjukkan sebuah rasa kehilangan yang
mendalam. Tangannya memegang sebuah boneka kecil peninggalan Dewi yang
terakhir. Tiba-tiba, pintu terbuka dan masuklah Agni CS menhampiri Nana yang
masih duduk dilantai.
“Aku senang kau seperti ini. Tapi kau seperti
ini menyusahkan kami.” Agni melihat keadaan Nana yang memprihatinkan.
“Cepat makanlah! Karena kau, kami terus
disuruh bunda untuk membujukmu.” Shiren menimpali. Nana hanya diam saja tak
membalas Agni CS.
“Ah, kau sungguh menjengkelkan!” kata Karin
menunjuk Nana. Nana masih diam saja. Agni lalu mengajak teman-temannya untuk
meninggalkan Nana. Tinggallah Nana sendirian dikamar itu lagi.
Beberapa minggu kemudian, Nana masih terus
saja diam. Mungkin hanya beberapa kata saja yang telah diucapkan Nana beberapa
minggu ini. Dia hanya berbicara untuk hal yang penting saja. Namun dia telah
melakukan aktivitasnya seperti biasa meskipun dengan kata yang sangat minim.
Setiap malam tiba, dia selalu melihat sekeliling ruang kamarnya dan melihat
kasur Dewi yang berada disamping kasurnya. Dimana dulu dia pernah bercanda dan
tertawa dikamar itu.
***
Tenggelam
dalam keterpurukannya, Nana tidak menyadari bahwa hari ini adalah hari
kedatangan Ahsin kepanti asuhan. Nana berjalan gontai keluar dari kamarnya. Langkahnya
terhenti diberanda panti asuhan itu. Matanya meandang langit lepas yang tampak
cerah. Pandangan matanya berubah arah menatap hamparan rumput dilapangan yang
tidak jauh dari tempatnya berada. Tatapan matanya sayup tak bersemangat. Ahsin
yang baru saja sampai dip anti langsung mencari keberadaan Nana. Tampaknya dia
ingin menyampaikan sesuatu yang penting untuk Nana. Dia lalu melihat Nana yang
tengah berdiri diberanda panti. Nana lalu berjalan menuju bangku kayu
dilapangan yang terus ditatapnya. Ahsin lalu tersenyum melihat Nana yang mulai
berjalan. Ahsin pun berniat berjalan menghampiri Nana. Namun tiba-tiba
langkahnya terhenti ketika mendapati Nana yang terus berjalan tanpa menyadari
keberadaannya. Senyumnya seketika menghilang. Matanya lalu melihat langkah
gontai Nana yang tanpa semangat, lalu melihat tatapan mata Nana yang terlihat
sendu dan kosong. Nana terus berjalan melewatinya
“Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Terakhir
kali dia tidak seperti ini.” batin Ahsin tidak mengerti dengan keadaaan Nana
yang aneh. Ahsin lalu memanggil seorang anak panti yang melintas didepannya.
“Nana kenapa? Apa yang terjadi dengannya?”
Tanya Ahsin masih tetap melihat Nana yang berjalan menjauh.
“Oh dia, Nana sekarang aneh. Dia selalu diam
sejak Dewi diadopsi dan dibawa ke Koera.” Jawab anak laki-laki panti yang
ditanyai oleh Ahsin.
“Korea?” Tanya Ahsin meyakinkan.
“Iya. Aku duluan ya.” Kata anak panti itu
berlalu meninggalkan Ahsin yang masih berdiri melihat Nana yang sudah duduk
dibangku ditepi lapangan.
Nana masih diam memandang hamparan luas
lapangan. Tiba-tiba sebuah tangan memegang pundaknya dan mengagetkannya. Namun
Nana sama sekali tidak bereaksi. Ahsinpun mengikuti Nana duduk setelah aksinya
mengejutkan Nana gagal.
“Nana, ada apa?” Tanya Ahsin melihat Nana.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Ahsin
lagi. Akhirnya Nanapun membuka mulutnya untuk sahabat satu-satunya yang
tersisa.
“Dewi pergi Ahsin.” Kata Nana dengan suara
samar dan bergetar. Tangisnya seketika pecah. Ahsin lalu mencoba menenangkan
Nana dengan memeluknya. Karena Ahsin sudah tahu, maka Ahsin mencoba mencari
penyebab perubahan sikap Nana.
“Aku mengerti. Tapi… kenapa kau jadi seperti
ini?” Tanya Ahsin lagi.
“Mungkin dia sekarang sangat membenciku.
Karena aku yang menyuruhnya pergi. Dan aku mengatakan hal yang kasar yang
seharusnya tidak aku ucapkan.” Kata Nana dengan mata berkaca-kaca. Ahsin lalu
melepaskan pelukannya pada Nana.
“Jadi seperti itu. Sudah Na, jangan
menyalahkan dirimu sendiri. Aku tahu kau melakukan itu demi Dewi kan?”
“Iya aku tahu. Tapi ini…” kata Nana yang sudah
terpotong oleh perkataan Ahsin.
“Dia tidak akan membencimu Na. sudahlah.. kau
tidak usah menyalahkan dirimu sendiri Na. kau tidak bersalah. Kau melakukan hal
yang benar Na.”
“Iya.” Jawab Nana singkat.
“Jadi sekarang kau harus tersenyum Na.” ucap
Ahsin sambil menarik kedua susut bibir Nana dengan jarinya. Dia lalu memandang
lekat wajah Nana.
“Maafkan
aku Na. aku juga harus pergi jauh sama seperti Dewi. Aku tak sanggup mengatakan
semua ini degan keadaanmu yang memprihatinkan seperti ini” Kata Ahsin dalam
hati. Kabar penting yang ingin disampaikan Ahsin tadi adalah tentang
kepergiannya. Namun melihat kondisi Nana yang sulit, Ahsin tak mampu
mengatakannya. Matanya berkaca-kaca dengan sebuah senyuman diwajahnya. Senyum
palsu, senyum yang tidak datang dari hatinya. Senyum palsu yang digunakan untuk
menghibur Nana.
“Ahsin terimaksih, kau telah ada sisiku.” Kata
Nana dalam hati.
“Nana maafkan aku. Besok aku harus pergi
meninggalkanmu.” kata Ahsin dalam hati yang menjawab perkataan Nana yang juga dalam
hati. Sekarang mata Nana sudah tidak meneteskan air mata lagi. Yang tersisa
hanya wajahnya yang masih terlihat bengkak.
Ahsin menyuruh Nana untuk menutup matanya.
Nana menuruti perintah Ahsin dengan menutup matanya. Tangan Ahsin merogoh saku celananya. Sebuah
kalung berwarna silver dengan bandul berbentuk kupu-kupu tergantung ditangannya.
lalu dia mendekatkan kalung itu tepat didepan wajah Nana. Dengan senyum
diwajahnya Ahsin menyuruh Nana membuka matanya.
“Bukalah matamu.” Nana kemudian membuka
matanya dan terkejut melihat sebuah kalung yang tergantung didepannya. Diapun
bertanya kepada Ahsin bahwa dia tidak mengerti dengan maksud Ahsin.
“Ini untukmu.” Jawab Ahsin dengan senyum
diwajahnya.
“Tapi,ini…” kata-kata Nana terpotong begitu
saja oleh perkataan Ahsin.
“Sudahlah. ini untukmu.” Ahsin lalu mencoba
memakaikan kalung indah tersebut pada leher Nana. Nanapun berusaha untuk
menolak.
“Sudah, jangan protes. Pakai saja ini.” Kata
Ahsin terus memakaikan kalung itu. Nana hanya diam saja menurut.
“Sudah selesai.” Kata Ahsin terenyum. Kemudian
dia melanjutkan lagi. “Terlihat bagus kau pakai.” Nana lalu meraba kalung yang
telah terpasang dilehernya. Matanya berbinar bahagia. Terdengar suara hati
Ahsin yang begitu sedih.
“Nana maaf. Terimalah ini sebagai hadiah
perpisahan dariku. Aku benar-benar minta maaf.” Mata Ahsin terlihat sangat
sedih. Tapi Nana yang senang sama sekali tidak melihat wajah Ahsin yang
terlihat murung. Nana lalu tersenyum melihat ahsin yang berda disampingnya.
Namun Ahsin yang dilihat Nana kembali memunculkan senyum yang berlawanan dengan
hati Ahsin yang sebenarnya. Untuk menutupi rasa murungnya, Ahsin meminta Nana
untuk mengantarkannya keliling panti. Nana dengan senang hati menerima
permintan Nana tanpa curiga sedikitpun. Nana kemudian berdiri dan mengajak
Ahsin untuk berkeliling.
“Kita akan mulai dari mana?” Ahsin diam dan
melihat Nana yang sudah bisa tersenyum. kemudian Ahsin berkata, “Terserah kau
saja Na. aku mengikut saja.” Senyum Nana pun mengembang lagi.
“Baiklah, tour keliling panti akan segera
dimulai. Semoga anda menikmati tour ini.” Kata Nana dengan gaya bicara bak
seorang pemandu wisata. Ahsin hanya tersenyum melihat tingkah aneh Nana. Nana
pun mulai berjalan an didikuti Ahsin yang berada dibelakangnya. Dari belakang
Ahsin tampak melihat Nana yang didepannya dengan wajah muram dan bersalah.
“Aku menyukaimu Na, sangat menyukaimu.” Batin
Ahsin melihat sosok Nana yang berda didepannya. dalam perjalanan, Nana terus
mengoceh menjelaskan semua tempat yang dilihatnya disekitar panti. Namun Ahsin
yang diberi penjelasan sama sekali tidak memperhatikannya. Ahsin tenggelam
dalam pikirannya yang amat kacau. Disisi lain dia tidak ingin meninggalkan
Nana. Namun disisi lainnya dia harus pergi. Ahsin terus berperang dengan kata
hatinya.
“Haruskah aku memberitahunya bahwa aku harus
pergi?”
“Tidak. Nana tidak boleh tahu. Dia baru saja
sembuh dari luka hatinya.”
“Apakah aku terlalu kejam. Aku tidak sanggup
meninggalkannya.”
Hatinya terus berkecamuk. Ahsin frustasi.
Tangannya mulai megacak-acak rambutnya. Tanpa sengaja, suara jeritan putus
asanya terdengar ditelinga Nana. “Ahsin, kau baik-baik saja kan?” Ahsinpun
tersadar dari lamunannya yang sangat dilemma dengan suara hatinya.
“Eh, iya Na. tidak apa-apa.” Jawab Ahsin memberi
alasan. Nana tampak bingung dengan jawaban Ahsin.
“Ayo,lanjutkan tour kita.” Kata Ahsin
mengalihkan perhatian Nana. Nana hanya memainkan wajahnya dan mengangkat
pundaknya bahwa tidak terjadi apa-apa dengan Ahsin. Nana lalu melanjutkan
langkahnya lagi.
“Untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati
sisa waktuku disini bersamamu Na. aku harap kau tidak membenciku. Maaf aku
tidak bisa memberitahumu langsung. Jangan marah padaku.” Kata Ahsin terus
berkata dalam hati. Suara Nana yang tiba-tiba menyadarkan lamunan Ahsin lagi.
“Kau ingin kemana lagi. Semua tempat dipanti
telah kita datangi.”
“Eh, terserah kau saja Na.” jawab Ahsin
tersenyum lalu melanjutkan perkataannya. “Kesana. Kita belum kesana kan?” Tanya
Ahsin cepat dengan menunjuk sebuah bangunan kecil diujung panti. Rupanya Ahsin
ingin menikmati panti yang akan ditinggalkannya. Bisa dibilang panti ini adalah
panti yang sangat penting baginya. Nana lalu tertawa dengan ajakan Ahsin untuk
menuju tempat itu.
“Haha… Apa kau sudah lupa? Itu adalah gudang.
Kau mau masuk kesana?” kata Nana dengan masih tertawa. Ahsin yang melihat Nana
tertawa pun ikut tertawa juga. Namun tertawanya tanda malu. Perlahan tertawanya
hilang ketika melihat Nana yang tertawa lepas.
“Aku harus mengatakannya.” Batin Ahsin lagi.
“Nana…” suara Ahsin yang membuat Nana terdiam
menghentikan tertawanya.
“Ada apa Ahsin?” Tanya Nana penasaran dengan
panggilan Ahsin yang terdengar sangat lemah. Suara batin Ahsin kembali
terdengar.
“Tidak.. aku tidak boleh memberitahunya.”
“Ahsin?” Tanya Nana lagi.
“Eh Na. tidak apa-apa.” Jawab Ahsin tidak jadi
memberitahu Nana.
Nana yang mendengar pernyataan Ahsin yang
tidak apa-apa jadi merasa aneh. Dia lalu bertanya pada Ahsin untuk mengobati
rasa penasarannya.
“Sebenarnya ada apa Ahsin? Tidak biasanya kau
bersikap seperti ini.” Tanya Nana penasaran. Ahsin yang terdiam mulai
melontarkan perkataannya.
“Nana, sebenarnya… sebenarnya aku lelah terus
berjalan dari tadi.” Kata Ahsin mencoba member alasan. Seketika Nana tertawa
mendengar pernyataan Ahsin.
“haha..kau begitu lucu Sin. Haha… baiklah ayo
kita istirahat.” Kata Nana dengan masih tertawa. Nana lalu membimbing Ahsin
menuju tempat duduk yang berada tidak jauh dari sana. Ahsin dan Nana kemudian
duduk di kursi itu. Tak beberapa lama, Agni muncul diantara mereka.
“Ahsin..” panggil Agni yang sudah berdiri
didepan Ahsin. Lalu melihat Nana yang ada disamping Ahsin dengan tatapan tidak
suka.
“Ahh.. rupanya kau bersama Nana.”
“Iya, ada apa?” jawab Ahsin tanpa semangat.
Agni seketika memegang tangan Ahsin dan menariknya. Otomatis Ahsinpun ikut
berdiri.
“Ayo ikut aku Sin, Na aku pinjam Ahsin ya?”
kata Agni dengan tatapan sinis. Nana yang tidak ingin ada keributan pun
membiarkannya. Ahsin yang tahu bahwa ini adalah saat-saat terakhir dengan Nana
pun menghentikan langkahya. Dia lalu melihat Nana yang masih duduk. Dia lalu
melepaskan tangan Agni yang berada dilengannya.
“Maaf Ni. Saat ini aku hanya ingin bersama
Nana.” Agni pun tak percaya dengan perkataan Ahsin dan menatap Ahsin. Begitupun
Nana yang tengah duduk juga menatap
Ahsin.
“Ahsin, ayolah ikut aku.” Bujuk Agni memegang
tangan Ahsin lahi.
“Maaf aku tidak bisa.” Kata Ahsin sambil
melepaskan tangan Agni lagi. Tampak mata Agni terlihat berkaca-kaca. Nana masih
tetap melihat kearah keduanya. Sesaat Agni memejamkan matanya, kemudian membuka
matanya dan menatap Nana tajam. Nana yang ditatap Agni tajam hanya melihatnya
saja dengan rasa bersalah.
“Nana, aku sangat membencimu…” ucap Agni
dengan nada geram. Nana yang dikatakan seperti itu hanya diam saja. Dengan
kesal, Agni berjalan meninggalkan keduanya. Dengan perasaan yang berkecamuk,
Agni berjalan melewati beberapa anakan tangga. Tiba-tiba kakinya kesleo dan
membuatnya terjatuh. Kepalanya membentur sebuah batu hiasan yang tidak jauh
dari sana. Nana dan Ahsin terkejut melihat Agni terjatuh
“Agni, awas….!!!” Teriak Nana yang melihat
Agni terjatuh. Mereka lalu mengampiri Agni yang jatuh tengkurap. Nana mendekati
Agni dan tambah terkejut melihat Agni yang tidak sadarkan diri dengan darah
yang terus mengucur dari kepalanya. Ahsin yang berada disisi Nana pun juga
tampak panik.
“Agni! Bangun Agni… ayo bangun!” teriak Nana
lagi. Seketika anak-anak panti lainnya berdatangan kearah Nana. Semuanya panik.
Bunda pun datang dan menyuruh agar Agni dibawa kedalam. Nana pun berniat ikut
kedalam. Namun tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang. Ahsin yang menarik
Nana.
“Nana, aku harus mengatakan sesuatu untukmu.”
“Ahsin lain kali saja. Aku harus menemani Agni
didalam.” Kata Nana melihat kearah dalam.
“Tidak bisa. Harus sekarang Na. aku akan segera
pulang.” kata Ahsin lagi. Nana yang buru-buru ingin melihat keadaan Agni segera
berlari meninggalkan Ahsin.
“Jika, kau akan pulang. Maka pulanglah. Sampai
jumpa!!” teriak Nana yang suah berlari meninggalkan Ahsin. Ahsin berniat
mengejar Nana, namun orang tua Ahsin memanggilnya dan menyuruhnya cepat untuk
masuk kemobil.
“Nana…!!!” teriak Ahsin memanggil Nana. Lalu
dia berkata lagi.,
“Na, aku harus pergi!” Namun Nana yang sudah
berlari jauh tiak bisa mendengar perkataan Ahsin.
“Nana, maaf kan aku. Semoga kau baik-baik
saja.” Kata Ahsin perlahan. Lalu Ahsin masuk kemobil dan meninggalkan panti
asuhan itu.
Didalam kamar Agni yang penuh dengan anak-anak
panti lainnya, Nana melihat Agni yang sudah tersadar dari pingsannya. Dia
berjalan mendekati Agni yang tengah dipasang perban. Agni melihat kedatangan
Nana dan mengingat kembali kejadian tadi. Dimana Ahsin menolak ajakan Agni
karena Nana. Agni menatap tajam Nana dan menunjuknya.
“Dia, adalah pelakunya.” Kata Agni tajam.
Semua anak panti pun bertanya-tanya dengan maksud Agni.
“Nana, dia yang melakukan semua ini padaku.”
Kata Agni lagi. Nanapun tidak mengerti dengan perkataan Agni.
“Apa maksudmu Ni, aku yang melakukan? Apa
maksudmu?” Tanya Nana tidak mengerti.
“Nana yang mendorongku higga aku terjatuh dan
terluka.” Kata Agni berbohong.
“Itu tidak mungkin. Siapa yang mendorongmu?
Aku sama sekali tidak mendorongmu Ni.” Kata Nana membela dirinya sendiri. Semua
anak panti mulai berkasak-kusuk melihat Nana dan Agni.
“Kau yang mendorongku!!” kata Agni dengan nada
keras.
“Kau berbohong kan Ni? Aku tidak mendorongmu.
Kau ksleo di tangga.” Kata Nana memberikan pembelaannya lagi.
“Kau berbohong. Kau mendorongku. Kau tidak
menyukaiku kan Na? karena aku selalu bersikap buruk padamu. Jadi kau
mendorongku karena kau tidak menyukaiku!!” Teriak Agni.
“Aku memang tidak menyukaimu, tapi bukan
berarti aku yang mendorongmu!” teriak Nana balik.
“Aku melihatmu mendorongku Na! jujurlah!”
teriak Agni lagi.
“Jujur? Aku sudah jujur Ni. Aku sama sekali
tidak mendorongmu.” Jawab Nana pelan.
“Tapi kau ada dibelakangku saat itu kan?”
Tanya Agni emosi.
“Iya, aku ada dibelakangmu saat itu.” Kata Nana
mengaku.
“Sudah terbukti kan! Itu artinya kau yang
mendorongku. Mengakulah Na!” teriak Agni lagi dengan kesal. Semua anak panti
yang mendengar perkataan Agni mulai mempercayai perkataan Agni jika Nana yang
telah melakukannya.
“Ahsin… Ahsin juga melihat kau tersleo dan
jatuh dari tangga sendiri. Ahsin, dimana kau?” ucap Nana melihat sekeliling
ruangan.
“Jujurlah Na. Ahsin tidak ada disana saat
kejadian. Dia sudah pulang. Aku saksinya.” Ucap Shiren yang mengaku melihat
kejadian.
“Aku juga melihatnya. Nana mendorong Agni.”
Kata Karin yang juga mengaku melihat kejadian.
“Itu tidak benar… Ahsin bersamaku saat itu.
Aku akan meminta kesaksian Ahsin besok untuk mengatakan yang sebenarnya.” Mata
Nana sudah berkaca-kaca.
“Percuma Na, Ahsin tidak akan datang lagi
kepanti asuhan ini. Dia akan pergi jauh. Mengakulah Na, dan minta maaflah pada
Agni.” Celetus Shiren yang terus membela Agni.
“Ahsin pergi? Tidak mungkin…” kata Nana dalam
hati.
“Aku tidak akan minta maaf. Aku tidak
bersalah. Mengapa kalian tidak percaya padaku!” Jawab Nana dengan nada tinggi
dengan masih terus membela diri sambil melihat seisi ruangan. Anak-anak panti
lainnya hanya diam saja.
“Nana..!!! jika bersalah mengakulah dan minta
maaflah pada Agni.” Kata Karin dengan nada tinggi. Nana lalu mendekati bunda
yang hanya diam saja melihat Nana yang terus dipojokkan.
“Iya, kami semua juga melihatnya mendorong
mbak Agni!” teriak anak perempuan panti lain yang berada diruangan itu. Semua
mata langsung mengarah padanya. Tiba-tiba seorang anak lagi mengaku juga
melihatnya, diikuti dengan beberapa anak-anak panti lain.
Flash back
Agni hampir terjatuh ditangga dan Nana berlari
menghampiri Agni. Diikuti Ahsin yang berlari dibelakang Nana. Belum sempat Nana
memegang, Agni telah jatuh terlebih dahulu. Teriakan Agni yang cukup keras
mengundang beberapa anak panti langsung mendekatinya. Namun anak-anak panti
telah melihat Agni jatuh tak sadarkan diri dengan Nana yang berdiri
dibelakangnya.
Flash bac and
“Bunda… apakah juga tidak percaya padaku?”
Tanya Nana dengan mata yang masih berkaca-kaca.
“Maaf Na, bunda ingin percaya padamu. Tapi,
semua saksi mengarah padamu. Maaf bunda tidak bisa membelamu.” Jawab bunda
dengan rasa bersalahnya. Mendengar jawaban bunda, tangis yang ditahan Nana pecah.
Air mata derasnya mengalir dipipinya. Agni yang melihat Nana menangis tersenyum
licik.
“Apakah kalian tidak mempercayaiku? Mengapa
kalian tidak mempercayaiku? Apa yang salah denganku?” teriak Nana dengan air
mata yang terus mengalir.
“Nana mengakulah dan minta maaflah pada Agni!”
balas Shiren dengan teriakan pula. Semua anak panti ikut menyudutkan Nana dan
terus meminta Nana untuk mengaku dan meminta maaf. Air matanya terus keluar
karena ketidak adilan yang diterimanya.
“Aku tidak akan minta maaf.! Itu bukan
salahku!!” teriak Nana yang merasa dirugikan. Namun desakan dan sikap anak-anak
panti yang menyudutkannya membuat pertahannya pecah. Agni yang melihat keadaan
Nana, diam-diam terus terseyum licik.
“Aku benci kalian!!!!” teriak Nana berlari
meninggalkan tempat yang membuatnya penuh air mata dan membuatnya sesak. Dia
berlari dan terus berlari tanpa mempedulikan teriakan anak-anak panti yang
terus menyorakinya.
Nana masih terus berlari keuar meninggalkan
panti asuhan. Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Sekali-kali
tangannya mengusap air matanya yang terus mengalir keluar. Pikirannya kacau
dengan peristiwa buruk yang dia alami. Pikirannya teringat dengan perkataan
Shiren yang mengatakan bahwa Ahsin telah pergi meninggalkannya. Hingga dia
sampai disebuah taman yang biasa ia datangi. Dia berlari mendekati bangku kayu
yang berada disudut taman. Nana terus menangis tanpa henti. Dia lalu
menyandarkan kepalanya dibangku taman dengan posisi duduk diantara rerumputan.
Dalam tangisannya, dia terus menyebut-nyebut nama Ahsin. Pikirannya terus
mengatakan bahwa Ahsin tidak mungkin pergi meninggalkannya. Dua kejadian telah
mengobrak-abrik hatinya. Kepergian Ahsin sekaligus fitnah yang menimpanya telah
menjadi bumerang yang menancap dihatinya.
“Ahsin itu bohong kan. Kau tidak pergi kan?”
Kata Nana dengan suara bergetar karena menagis.
“Ahsin… semua orang disini tidak ada yang
percaya padaku. Tapi, kau percaya padaku kan?” kata Nana dengan suara
terisak-isak. Sebuah suara tiba-tiba membalas perkataan Nana.
“Aku tidak akan pergi. Aku percaya padamu,
Nana..” Nana berbalik dan melihat Ahsin berdiri dibelakangnya dengan tersenyum.
Nana menghampiri Ahsin dan berupaya menyentuhnya. Tiba-tiba Ahsin menghilang.
Itu hanya bayangan Ahsin yang dilihat Nana. Ahsin tidak ada disana. Tangis Nana
pun semakin menjadi-jadi. Tidak ada yang percaya padanya. Semua teman
meninggalkannya sendirian. Tidak ada tempat untuknya bersandar. Nana terus
menumpahkan air matanya ditaman itu.
Hampir tengah malam, Nana baru kembali ke
panti. Matanya sembab dan penampilannya acak-acakan. Lebih parah dari
keterpurukannya kemarin saat ditinggal Dewi. Ini lebih hancur dan menjadi
penyakit yang menghancurkannya. Dia berjalan kekamarnya tanpa semangat dan
tanpa tenaga sama sekali. Sampai kamar, dia hanya duduk dilantai bersandar
diranjang tempat tidur. Tatapan matanya kosong dengan air mata yang terus
menetes dipipinya. Kedua sahabat yang dipercayainya telah pergi jauh. Tanpa
sandaran, dia hanya memikul beban berat sendiri yang menghantam hatinya.
Bibirnya terus bergetar memanggil Ahsin dan terus memanggil Ahsin.
Sampai pagi tiba pun Nana sama sekali tidak
memejamkan matanya. Tatapan matanya masih saja kosong. Posisinya juga masih
sama yaitu duduk dilantai dengan bersandar pada pinggiran ranjang. Seorang anak
perempuan masuk dikamarnya dan memberikan sebuah surat dengan sapul berwarna
merah.
“Ini ada surat untukmu.” Kata anak perempuan
itu sambil berlalu dari kamar Nana. Tatapan matanya perlahan melihat surat yang
tergelatak tidak jauh darinya. Nana lalu mengambil surat itu. Pelan-pelan Nana
membuka surat itu dan mulai membacanya. Perlahan air matanya menetes kembali.
Nana,
Na, Aku
minta maaf. Benar-benar minta maaf. Maaf tidak bisa memberitahumu secara
langsung. Aku pergi Na. pergi ketempat yang jauh. Jauh dari pandangan matamu.
Kemarin aku bimbang untuk memberitahumu. Kau yang baru sembuh dari luka hati
akibat kepergian Dewi sungguh membuatku sulit untuk mengatakannya. Aku takut
senyum yang baru megembang diwajahmu akan
segara berakhir. Aku tak ingin membuatmu bersedih kembali. meskipun
akhirnya kau akan bersedih karenaku.
Kemarin aku
ingin mengatakan semuanya secara langsung. Tapi kau sama sekali tidak
memberikanku waktu dan berlari meninggalkanku. Aku ingin mengejarmu, tapi tak
ada cukup waktu untuk melakukannya. Na, aku benar-benar minta maaf. Kemarin
sebagai hadiah terakhir sekaligus hadiah perpisahan dariku. Sungguh aku tak
ingin meninggalkanmu. Tapi aku tidak bisa melakukan itu. Aku tetap harus pergi.
Na, aku
mohon kau jangan besedih atau menangis lagi. Terimaksih telah menjadi sahabat
sekaligus seseorang yang telah memberiku kenangan yang indah. Aku mohon jagan membenci
diriku.
Aku akan
selalu merindukanmu.
Ahsin
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar