Selasa, 10 Maret 2015

cermin sakura episode 3



                                         

                           3



5 tahun kemudian…
Taman kecil dan didalamnya sebuah bangku kayu panjang tergeletak begitu saja disudutnya. Serta bunga-bunga tak terurus terhampar didalamnya.  Juga tanaman-tanaman liar yang dibiarkan tumbuh bersamanya. Dan sebuah pohon kresem tepat berdiri dibelakang bangku kayu itu, dengan buahnya bewarna merah yang tergantung didahannya. Membuat teduh bangku kayu itu. Ditambah beberapa kupu-kupu yang rela membantu bunga-bunga itu bermekaran dengan indahnya. Simbiosis mutualisme lebih tepatnya. Bangku kayu itu, Nana duduk diatasnya. Tempat yang mampu menenangkan hati Nana. Serta tempat dimana Nana dapat mengekspresikan semuanya dengan bebas. Tenang dan tak ada gangguan. Juga tempat yang penuh kenangan didalamnya. Masih sama seperti dulu, ditaman ini dia selalu membawa kertas dan pensil. Dia selalu membuat sketsa dari alat-alat itu. Mungkin itu hobi yang tidak pernah hilang dari hidupnya. Dia memandang langit dan mulai memejamkan matanya. Sama seperti kenangannya dulu bersama Ahsin. Dan kini telah menjadi kebiasaannya. Kebiasaan yang dia curi dari Ahsin.
Flash back
Seorang gadis kecil sekitar umur 10 tahun terlihat sedang duduk sendirian di kursi di tepi sebuah lapangan kecil didepan bangunan tua yang agak besar. Tampaknya bangunan itu sebuah panti asuhan yang tak besar jika dilihat dari luasnya bangunan. Pandangannnya melihat anak-anak lain yang tengah bermain bola kasti yang ada didepannya. Mungkin dia penghuni baru dipanti asuhan ini. Pandangannya terus menatap kedepan, tapi matanya terlihat kosong dan kesepian. Mungkin dia baru saja mengalami hal yang sangat perih. Salah satu anak perempuan yang dipandangnya mulai berjalan mendekatinya.
“kau anak baru ya? Siapa namamu?” Tanya anak yang menghampirinya tadi. Gadis kecil itu sama sekali tak menjawabnya dan terus diam. Juga sama sekali tidak menatap anak perempuan yang menghampirinya itu. Seolah-olah dia tidak melihatnya.
“hei!! Aku sedang berbicara denganmu!” teriak anak perempuan yang menghampirinya lagi.
“Agni! Sudahlah. Mungkin dia tak mau berteman dengan kita. Biarkan saja dia.” kata anak laki-laki yang bermain dilapangan itu. Jadi anak perempuan yang menghampiri gadis kecil yang duduk dikursi itu bernama Agni.
“Ah.. menjengkelkan.” Kata Agni kemudian. Diapun berlari kembali bermain dilapangan tadi.
Gadis kecil itu tetap saja duduk dikursi itu. Entah dia memandangi anak-anak yang tengah bermain ria atau yang lainnya tak ada yang tahu. Tapi pandangan matanya masih saja kosong. Waktupun berlalu. Satu semi satu anak-anak yang bermain bola kasti perlahan-lahan meninggalkan lapangan kecil yang ada didepan panti asuhan itu. Haripun semakin sore dan gadis kecil itu masih tetap duduk dikursi itu. Pandangannya masih menatap kedepan dan masih saja kosong. Perlahan-lahan air matanya menetes keluar. Mungkin sejak tadi dia ingin menumpahkan air matanya, tapi tidak bisa. Dan akhirnya kini dia bisa meneteskan air matanya itu.
“ayah..” bibirnya pun bergumam tak jelas seperti memanggil ayahnya. Apakah yang terjadi? Apa dia baru saja kehilangan ayahnya?
“ibu..” bibirnya pun bergumam lagi. Tapi gumamamnya berganti memanggil ibunya. Apakah dia juga kehilangan ibunya pula? Tanpa suara dia menangis. Hanya air mata yang menandakan bahwa dia sedang menangis.
“Nana…” panggil seorang wanita paruh baya yang berjilbab. Tampaknya dia adalah pengasuh panti asuhan ini. Disini diketahui bahwa gadis kecil itu bernama Nana.
“Ayo sini sama Bunda.” kata wanita paruh baya itu. Tak ada reaksi dari Nana sedikitpun. Dia terus saja diam. Kemudian wanita itu perlahan mendekati Nana dikursi. Dia lalu duduk dikursi itu disamping Nana.
“Nana menangis ya?” Ucap wanita itu seraya mengusap air mata Nana.
“Mau cerita sama bunda?” Tanya wanita itu lagi. Tak ada jawaban dari Nana. Diam. Nana memilih untuk diam.
“ya sudah. Ayo kita masuk.” Kata bunda kemudian. Wanita itu kemudian masuk kedalam panti sambil menggandeng tangan Nana. Terpaksa Nana ikut dengan wanita itu karena telah digandeng.
Didalam, diruang makan yang cukup besar. Wanita itu yang biasa disapa bunda pun mengajak Nana masuk. Kemudian dia berdiri bersama Nana disampingnya.
“Anak-anak! Bunda minta perhatiannya sebentar ya?” kata bunda meminta perhatian anak-anak yang lain. Seketika anak-anak yang lain berhenti dari aktivitasnya masing-masing dan mulai memperhatikan bunda.
“Ini teman baru kalian. Kenalkan, namanya Nana. Dia baru tadi pagi datang kesini. Nana selanjutnya akan tinggal bersama kita disini.” ucap bunda memperkenalkan Nana.
“oh anak yang sombong tadi ya?” celetus Agni. Tampaknya kejadian tadi telah membuat Agni tak menyukai Nana. Begitupun dengan yang lainnya yang membenarkan ucapan Agni.
“Husshh… Agni. Jangan bilang seperti itu. Mungkin Nana belum terbiasa. Bunda minta perlakukan Nana dengan baik ya?”
“iya bun.” Jawab Agni kemudian. Diikuti oleh yang lainnya. Nana masih saja diam saja. Tak menjawab sama sekali. Pandangannya terus menatap kedepan dan masih saja kosong. Lalu bunda memberi Nana makanan dan menyuruhnya makan. Nana tampak lahap memakan makanannya. Sepiring penuh makanan yang diberikan bunda pada Nana termakan sudah diperut Nana. Bunda hanya tersenyum melihatnya. Nana sih tak peduli dengan itu.
                                                            ***
Beberapa hari kemudian, Nana masih tampak seperti biasa. Diam dan terus melamun. Pandangan matanya masih kosong. Perlakuan baik dari teman-temannya sama sekali tidak dipedulikannya. Entah itu mengajak bicara, bermain, dan bercanda.
“Na, bermain yuk? Kata bunda kita harus bermain bersama. Kau mau kan?” seorang anak laki-laki menghampiri Nana yang sedang duduk diberanda rumah panti asuhan itu. Nana sama sekali tidak bereaksi dengan itu. Dia hanya diam saja dan tidak memandang laki-laki tadi.
“Dika, sudahlah. Dia tidak mau berteman dengan kita.” Celetus anak perempuan yang bersama Agni yang juga berada di beranda rumah.
“Iya benar kata Shiren Dik. Dia kan sombong.” Sambung Agni kemudian.
“tapi Nana kan kasihan.” Jawab Dika melihat Nana yang hanya diam.
“Biarkan saja dia. Tapi ya sudah lah. Terserah kamu saja Dik. Kami hanya tidak ingin kau membuang waktu saja.” Tambah anak perempuan lagi yang berada disebelah kanan Agni.
“Baiklah Rin.” Kata Dika seraya berjalan meninggalkan Nana. Nana sama sekali tidak bereaksi atas perkataan teman-temannya tadi. Dia terus saja diam.
“Karin, bagus.” Puji Agni pada Karin.
“Benar Karin.” Tambah Shiren lagi. Lalu mereka bertiga berjalan meninggalkan Nana yang sendirian di Beranda rumah. Hal tersebut tentu membuat teman-temannya jengkel dan menjauhinya. Nana pun sama sekali tidak punya teman. Hari-harinya hanya dipenuhi dengan melamun saja. Tidak ada senyuman atau canda tawa diwajahnya. Hanya pandangan kosong dan tak punya semangat hidup.
Hari ini adalah hari yang sangat dinanti oleh semua anak panti asuhan ini. Mereka telah bersiap-siap dengan penampilan mereka. Seperti biasa setiap bulan tanggal 14, sebuah keluarga yang cukup kaya memberikan santunan kepada setiap anak panti disini. Dan hari ini adalah harinya. Dengan pakaian rapi, anak-anak panti bersiap-siap menyambut pemberi santunan itu. Setelah beberapa waktu kemudian, mobil keluarga itupun sampai di halaman panti asuhan itu. Tampak sebuah keluarga turun dari mobil itu. Keluarga itu terdapat ayah,ibu dan seorang anak laki-laki yang seumuran dengan Nana. Anak laki-laki itu terlihat seperti seorang pangeran yang tampan. Penuh karisma dan sangat menggemaskan. Ayah dan ibu anak itu tersenyum pada semua anak panti dan menyapanya. Kemudian mereka menghampiri bunda yang juga berdiri diantara anak-anak panti. Pangeran kecil itupun langsung berlari menghambur diantara anak-anak panti lainnya. Tampaknya dia sudah sangat akrab dengan anak-anak panti lainnya. Agni CS langsung berlari mengampiri pangeran kecil yang sedang bercana dengan Dika dan seorang anak laki-laki lain.
“Hai Ahsin, apa kabar?” Tanya Agni mengampiri pangeran kecil itu. Pangeran kecil itu bernama Ahsin.
“Ah.. mengganggu saja.” Gerutu seorang anak laki-laki yang bersama Dika dan Ahsin.
“Sudahlah Fendi. Tidak apa-apa. Oh ya Agni, kabarku baik-baik saja.” Jawab Ahsin akhirnya.
“Kau kan suda datang Sin, ayo kita lanjutkan permainan bola kasti kita dulu.” Kata Dika penuh semangat.
“Baiklah. Ayo. Tidak sabar aku untuk menang.” Tantang Ahsin pada Dika.
Ahsin, Dika, Fendi diikuti oleh Agni CS berjalan menuju lapangan kecil didepan panti asuhan itu. Tampak Nana duduk dikursi biasanya yang berada ditepi lapangan kecil itu. Nana terus memandang kedepan dengan pandangan kosong.
“Siapa itu? Tampak asing.” Kata Ahsin menatap Nana.
“Yang mana?” Tanya Dika pada Ahsin.
“Itu lho, yang duduk dikursi itu.” Jawab Ahsin menunjuk Nana. Pandangannya masih tetap melihat Nana.
“Oh itu, gadis kecil yang aneh.” Celetuk Agni.
“Aneh?” kata Ahsin tidak mengerti.
“Dia benar-benar aneh.” Sambung Shiren.
“Dia Nana. Anak baru di panti ini. Dia sudah dua minggu dipanti ini.” Kata Fendi menjelaskan.
“Tapi, sampai saat ini dia sama sekali tidak bicara sedikitpun. Dia terus saja diam.” Kata Dika juga menjelaskan.
“Bahkan ketik aku mengajaknya bicara, dia sama sekali tidak menjawab dan terus saja diam.” Lanjut Agni.
“Benar itu. Dia sangat Aneh.” Kata Karin membenarkan perkataan Agni.
“Sudahlah. Ayo kita bermain!” kata Dika bersemangat. Ahsin masih terus melihat Nana yang ada dikursi itu.
“Ayolah.” Tarik Dika pada lengan Ahsin. Mau tidak mau Ahsin berjalan mengikuti Dika dan yang lainnya. Sejenak mata Ahsin melihat Nana kembali. Kemudian melihat teman-temannya lagi dan berjalan menyusul mereka. Mereka kemudian bermain dengan penuh keceriaan. Nana memandangi mereka yang bermain dilapangan dengan tatapan kosong. Tapi pandangannya berubah ketika melihat Ahsin bermain didepannya. Bola kasti itu terlempar kearah Nana. lalu berhenti didekat kaki Nana. Nana memandangi bola kasti itu. Sejenak dia akan berjongkok untuk mengambil bola itu. Tapi diurungkan niatnya dan duduk kembali.
“Lemparlah!” teriak Ahsin pada Nana. Tapi Nana hanya diam tak beranjak dari duduknya. Akhirnya Ahsin berlari mendekati bola kasti yang berada didekat Nana.
“Ah.. kau ini. Seharusnya kau melemparnya.” Kata Ahsin pada Nana. Namun Nana hanya diam saja tak menjawab. Ahsin lalu melempar bola kasti itu kepada teman-temannya.
“Aku istirahat dulu!! Kalian bermain saja terus!!” teriak Ahsin pada teman-temannya yang berada di lapangan.
“Aiyyysss… kau ini. Mengapa kau tak menjawabku?” gerutu Ahsin melihat Nana serta ikut duduk ikursi bersama Nana.
“Siapa namamu? Aku baru melihatmu disini.” Kata Ahsin lagi. Nana hanya diam dan tidak melihat Ahsin yang sedang berbicara padanya.
“kau mendengarku kan? Kenapa kau tidak menjawabnya?” celoteh Ahsin lagi. Lagi-lagi Nana hanya diam saja.
“Ah.. sudahlah. Aku Ahsin.” Kata Ahsin memperkenalkan diri. Tidak ada tanggapan dari Nana.
“Anak-anak kesini!” Teriak bunda pada anak-anak panti. Seketika anak-anak panti berlari mendekati bunda. Termasuk Agni CS, Dika dan Fendi yang bermain dilapangan itu. Tapi Nana hanya diam saja, tidak mengikuti yang lainnya.
“Kau tidak kesana?” Tanya Ahsin pada Nana yang tidak mendapat jawaban dari Nana lagi. Nana sama sekali tidak beranjak dari duduknya.
“kau tidak seru. Ok baiklah..” Ahsin menarik tangan Nana dan berlari. Terpaksa Nana ikut berlari karena tangannya dipegang oleh Ahsin. Nana menatap sinis Ahsin yang berlari didepannya serta mencoba melepaskan tangannya dari pegangan Ahsin. Tapi Ahsin semakin mempererat pegangan tangannya pada tangan Nana. Terpaksa Nana terus berlari mengikuti Ahsin.
“Ikut saja.” Kata Ahsin tanpa melihat Nana. Tapi Ahsin membawa Nana tidak ketempat dimana anak-anak lain berkumpul. Melainkan terus berlari melewati panti asuhan itu. Dari wajahnya Nana tampak bingung karena semakin jauh dari panti.
“Sudah sampai.” Kata Ahsin memberitahu Nana. Ahsin membawa Nana kesebuah taman bunga kecil yang sangat indah. Nana tampak terkesima dengan pemandangan yang ada didepan matanya. Matanya pun bersinar melihat bunga-bunga yang tampak bermekaran itu. Sebuah bangku kayu berada disudut taman itu. Bermacam kupu-kupu beterbangan ditaman itu. Tanpa sadar tangannya masih berada dalam genggaman Ahsin.
“Bagaimana? Indah bukan?” suara Ahsin seketika menyadarkan dirinya dalam keindahan taman itu. Diapun sadar bahwa tangannya masih berada digenggaman Ahsin dan menariknya. Ahsinpun sadar dan melepaskannya.
“Hei..! mengapa kau tak menjawabku!” teriak Ahsin kemudian. Nana hanya diam saja seperti tadi.
“huh. Sia-sia.” Gerutu Ahsin lagi. Ahsin kemudian berlari memetik salah satu bunga ditaman itu. Bunga mawar yang dipetiknya. Lalu dia berlari lagi menghampiri Nana. Dia tersenyum pada Nana. Tiba-tiba Ahsin memasangkan bunga mawar itu ditelinga Nana. Nana seketika terkejut atas perbuatan Ahsin padanya. Nana lalu menatap wajah Ahsin.
“Kau imut dengan bunga itu.” Puji Ahsin pada Nana. Lalu Ahsin berlari menuju bangku di sudut itu. Ahsin lalu duduk dibangku itu. Nana kemudian menyentuh bunga yang ada ditelinganya itu dan membiarkannya. Dia tampak tersenyum, meskipun tak begitu jelas.
“Ayo duduklah disini.” Panggil Ahsin pada Nana. Seperti biasa, Nana hanya diam tak bereaksi. Ahsin pun tak sabar dan langsung berlari menghampiri Nana.
“Ah. Kau terlalu lama.” Kata Ahsin mendekati Nana. Lalu dia menarik Nana serta berlari menuju bangku itu. Merekapun duduk dibangku kayu yang berada disudut taman itu.
“menarik bukan, menikmati taman dari sini?” Tanya Ahsin pada Nana yang ada disampingnya. Kemudian Ahsin menutup matanya sambil menghirup udara segar dari taman itu.
“Nana, namaku Nana.” Dengan nada pelan dan samar, Nana membuka mulutnya setelah sekian lama menguncinya. Seketika Ahsin terkejut dan membuka matanya. Ahsin pun melihat kearah Nana.
“Kau bilang apa? Aku tidak mendengarnya.” Balas Ahsin pura-pura tidak mendengar. Secercah senyum tampak diwajahnya. Dan dia mengalihkan pandangannya kedepan sok cuek.
“Namaku Nana, Ahsin.” Kata Nana lagi. Kali ini Nana berkata sedikit keras, tapi dengan nada datar. Ahsin pun pura-pura tidak peduli dan pura-pura biasa saja. Tapi jika dilihat dari wajahnya sebenarnya dia sangat senang. Apalagi dengan Nana yang telah memanggil namanya. Suatu kebanggaan yang tidak bisa dilakukan teman-temannya yang lain dipanti.
“Jadi, namamu Nana. Telat. Aku sudah tahu itu.” Jawab Ahsin dengan nada tidak peduli. Mungkin dia ingin membalas Nana. Tapi karena Nana sudah terbiasa, jadi dia bersikap biasa saja. Sedangkan Ahsin jengkel sendiri karena upaya balas dendamnya tidak berhasil.
“Kenapa kau biasa saja?” Tanya Ahsin pada Nana.
“Karena itu sudah biasa.” Jawab Nana datar tanpa ekspresi. 
“ah.. benar juga. Tapi seharusnya kau banyak bicara seperti diriku tadi. Juga kau…” Celoteh Ahsin panjang lebar. Namun belum selesai bicara Nana telah memotongnya.
“Terima kasih” potong Nana. Seketika Ahsin diam menatap Nana. Diapun masih tidak percaya dengan ucapan Nana itu.
“Kau bilang apa?” Tanya Ahsin mencoba meyakinkan lagi.
“selalu dua kali. Aku bilang terima kasih. Ayo kita kembali” Ucap Nana lagi. Nana kemudian berjalan pergi meninggalkan Ahsin yang masih duduk mematung dikursi.
“Nana. Seperti apa dirimu sebenarnya?” gumam Ahsin kemudian. Lalu dia berjalan mengikuti Nana menuju ke panti asuhan.
Pembagian santunan selesai ketika Ahsin dan Nana sampai disana. Nana sudah terlambat untuk mengambil santunannya. Dia hanya berdiri didepan beranda melihat teman-temannya yang tengah membuka amplop berisi uang santunan. Ahsin melihatnya dan mengerti apa yang dirasakan Nana. Lalu Ahsin meminta satu amplop lagi pada ibunya. Dia lalu berjalan mendekati Nana.
“Ini untukmu.” Kata Ahsin memberikan Amplop pada Nana. Nana lalu menerimanya dan tidak mengatakan sepatah katapun.
“Ah. Kau kembali lagi kedirimu di awal.” Kata Ahsin lagi karena tanggapan Nana yang diam saja.
“Ahsin, ayo pulang.” Panggil ayah Ahsin.
“Iya ayah.” Jawab Ahsin pada ayahnya. Nanapun terkejut. Sepertinya dia baru tahu bahwa Ahsin bukanlah anak panti seperti dirinya. Melainkan anak dari keluarga yang baru saja memberinya santunan.
“Nana, aku pergi. Kita akan berjumpa lagi kan?” kata Ahsin tanda perpisahan. Nana tidak menjawab dan hanya menganggukkan kepalanya saja.
“Baiklah. Sampai jumpa.” Lalu Ahsin pergi meninggalkan Nana dan berpamitan dengan semuanya. Dari ekspresinya yang dingin, tampak bahwa dia kehilangan Ahsin.
                                                ***
Kemilauan cahaya matahari pagi berkilauan didedaunan. Secercah cahayanya diam-diam masuk kesebuah kamar melalui celah-celah kecil didinding. Kicauan burung-burung kecil terdengar samar-samar. Nana tampak duduk dilantai kamar itu sendirian. Dengan sebuah buku gambar dan pensil ditangannya, dia mulai menggambar sebuah sketsa. Kamarnya pun tampak sunyi dan sepi. Tampaknya anak-anak panti yang lain sedang sekolah. Mungkin Nana yang masih baru disana belum bisa sekolah. Ditambah sikapnya yang selalu diam mengurungkan niat bunda untuk mengirimnya kesekolah. Aktivitasnya berhenti sejenak dari menggambar sketsa itu. Matanya yang jernih menatap sebuah kalender yang terpasang didining kamar itu. Terlihat tanggal 14 yang terlingkari bolpoin merah. Juga tanggal 1-6 yang disilang dengan bolpoin hitam. Hari ini adalah tanggal 6, itu artinya delapan hari lagi akan tanggal 14, menandakan keluarga Ahsin akan datang kepantinya. Dia terus menatap dalam kalender itu. Lalu dia mengambil pensil dan buku gambar yang telah bergambarkan sketsa tadi. Nana pun berlari meninggalkan kamar dan terus berlari meninggalkan panti asuhan itu. Ternyata Nana menuju taman kecil yang ditunjukkan Ahsin dulu. Diapun memetik sebuah bunga mawar yang sama dengan yang dipetik Ahsin dulu. Sambil berjalan dia meletakkan bunga itu ditelinganya. Persis dengan apa yang dilakukan Ahsin dulu. Dia lalu duduk dibangku kayu yang berada di sudut taman itu. Bangku dimana dia dan Ahsin duduk bersama dulu.
Nana memandang dan menikmati keindahan taman kecil itu. Dia lalu meniru Ahsin dengan menghirup udara dari taman itu dan memejamkan matanya. Beberapa menit kemudian dia membuka matanya. mungkin dia merasa nyaman dengan apa yang dilakukannya tadi. Kemudian dia tersenyum. mungkin dia membayangkan Ahsin disisinya. Buku gambar dan sketsa yang dibawanya tadi dibukanya. Dia membuka lembar baru. Perlahan-lahan pensil yang berada ditangannya mulai mengotori buku gambar yang bersih itu. Sejenak dia memandang langit dan menggambar kembali. Alhasil sebuah sketsa tubuh Ahsin tergambar di buku gambar itu. Dia lalu memandang langit yang tampak cerah dan memejamkan matanya.
Sudah beberapa lama waktu berlalu, Nana masih terus memejamkan matanya. Nana tertidur. Angin lembut berhembus ditaman itu. Sebuah daun terlepas dari ranting pohon kresem kecil yang berada dibelakang bangku dimana terdapat Nana yang terlelap di atasnya. Daun itupun melayang mengenai wajah Nana yang terlelap. Lalu daun itu membangunkan Nana dari tidurnya. Langitpun tampak sangat cerah karena sinar matahari yang sangat terang. Mataharipun juga memaksimalkan cahayanya agar semakin panas di tengah hari ini. Segera Nana berlari meninggalkan taman kecil itu. Tak lupa pensil dan buku gambar ikut dibawanya.
Di panti, sudah terlihat banyak anak-anak panti yang sudah pulang sekolah. Nana hanya berdiri saja melihat anak-anak panti lain yang berlalu lalang didepannya. Suara adzan dzuhur terdengar dari masjid panti. Segera Nana berjalan menuju tempat wudhu yang berada dikamar mandi. Terlihat dikamar mandi telah terpenuhi oleh anak-anak panti lainnya. Nana yang sekarang pun sudah bisa mengantri seperti yang lainnya. Meski hanya diam saja.
***
            Flash back and

Tidak ada komentar:

Posting Komentar