Rabu, 11 Maret 2015

cermin sakura episode 5



                                                  5

Mimpi. Dengan napas terengah-engah Nana terbangun dari tidurnya. Keringat dingin terus mengucur di tubuhnya. Nana mimpi buruk. Entah apa maksud mimpi itu Nana tak mengerti. Rasa takut masih menyelimuti Nana saat ini. Keringatnya pun masih terus mengucur keluar. Sejenak tangannya mengelap keringat yang membasahi wajahnya. Nana berkata dalam hatinya.
“Apakah ini tanda akan sesuatu? Apakah nanti aku akan mengalami hal seperti itu lagi?” dia lalu melihat jam dinding yang terpasang didinding kamarnya. Jam 02.10 pagi. Nana sudah tidak bisa tidur lagi.
“Ahhh… ingin pipis.” Kata Nana pelan. Nana lalu menuju kamar mandi panti yang berada di sudut kanan. Sangat jauh dari kamarnya yang berada di sudut kiri. Kamar mandinya terlihat sangat gelap. Sangat sepi. Semua pintu kamar asrama panti tertutup. Mereka semua masih tidur. Juga sangat sunyi. langkah kakinya terdengar sangat menakutkan. Angin malam dingin sekali-kali juga menusuk kulitnya. Bulu kuduknya juga mulai berdiri. Sebuah bayangan melintas dibelakangnya. Seketika dia menghentikan langkahnya dan melihat kebelakang.
“Tidak ada apa-apa. Mungkin hanya imajinasiku saja.” Kata Nana dalam hati lagi. Dia lalu berjalan kembali menuju kamar mandi. Terlihat kamar mandinya sangat sepi dan gelap karena lampunya dimatikan. Hanya terkena pantulan cahaya dari lampu kamar panti. Lalu Nana menghidupkan lampunya dengan menekan tombol yang berada didinding kamar mandi dekat pintu, dekat dengan dirinya berdiri. Deretan kamar mandi yang jumlahnya 10 pun tampak sangat menyeramkan. Tak ingin berlama-lama berada dikamar mandi, Nana segera masuk kesalah satu kamar mandi yang sangat dekat dengan pintu. Setelah selesai, Nana membasuh mukanya diwestafel yang berada didekat pintu. Nana berhenti sejenak dan masih memikirkan mimpi buruknya tadi. Suara hati Nana terdengar kembali
“Apa arti mimpi itu? Mengapa itu terlihat sangat nyata?”
 Bayangan itu melintas lagi di belakang Nana lewat pantulan cermin didepannya. Hatinya langsung deg. Dan jantungnya mulai berdebar-debar. Seluruh tubuh Nana sudah tidak berasa. Kakinya terasa sudah tidak bisa lagi menopang tubuhnya. Tangannya juga tidak bisa merasakan apa-apa. Seperti mati rasa tak dapat digerakkan. Lalu Nana berpaling kebelakang dan tak menemukan apa-apa. Sekali lagi matanya berkeliling memandang setiap sudut kamar mandi itu, tapi juga tidak menemukan apa-apa.
“Mungkinkah ini imajinasiku lagi? Ah.. aku tidak peduli” kata Nana pelan. Nanan pun berjalan cepat meninggalkan kamar mandi itu. Nana terus berjalan cepat menuju kamarnya sambil menutup telinganya. Serta pandangannya lurus kedepan tanpa menoleh sedikitpun. Sambil sekali-kali menutup matanya.
Setelah sampai, Nana langsung menutup pintu kamarnya dan berlari ketempat tidur. Dia lalu merebahkan tubuhnya dikasur dengan balutan selimut diatas tubuhnya. Seluruh tubuhnya tertutup oleh selimut, termasuk kepala. Nana lalu membuka selimut yang menutupi kepalanya.
“Aku lupa mematikan lampu kamar mandinya. Mungkin bunda akan menegurku besok. Biarlah. Aku tak peduli.”
***
Kemilauan cahaya matahari menembus jendela kamar Nana. Akibat pantulan cahaya matahari perlahan Nana membuka matanya. Kemudian dia menatap jam yang ada didinding kamarnya. Tepat saat itu jam 06.00.
“Ahh.. jam 06.00, aku  telat. Belum sholat subuh lagi.” Teriak Nana.  Secepat kilat Nana berlari kekamar mandi.
“Aduh antrian pasti dapat terakhir.” Gerutu Nana sambil berlari. Benar saja. semua kamar mandi penuh, dan telah ada banyak antrian dibelakangnya. Terpaksa Nana hanya cuci muka, sikat gigi dan mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat subuh yang kesiangan itu.
“Semua ini gara-gara mimpi aneh tadi malam. Ah sudahlah. Mungkin aku ditakdirkan untuk tidak mandi pagi ini. Biarlah, disekolah juga tak ada yang peduli.” Batin Nana.
Selesai sholat Nana langsung bersiap-siap berangkat ke sekolah. Seperti biasa, sarapan pagi panti asuhan ini adalah dua buah roti tawar dan sebotol kecil susu. Dimana masing-masing telah dibungkus dalam satu plastik. Jadi, tiap anak panti tinggal mengambil saja. Sekaligus bisa dibawa untuk bekal sekolah. Jadi seperti biasa, Nana mengambilnya untuk bekal sekolah yang langsung dimasukkan dalam tas. Dan memakannya bila istirahat pertama tiba.
Nana besekolah di SMA yang cukup favorit didaerahnya. SMA nya agak sedikit jauh dari panti. Jadi Nana naik sepeda untuk sampai disana. Sepedanya pun tak cukup bagus, hanya sepeda tua yang entah berapa umurnya tidak ada yang tahu. Yang penting bisa dipakai. Tapi terkadang juga sangat menjengkelkan bagi Nana bila tidak sesuai dengan rencana atau gangguan dengan sepeda itu. Kira-kira butuh sekitar 20 menit untuk biasanya sampai di sekolah. Tapi saat ini tersisa waktu 15 menit lagi. Itu artinya Nana terlambat lima menit. Dengan cepat kilat Nana mengendarai sepeda tuanya agar tidak telat. Sekuat tenaga Nana mengayuh sepeda ini agar melaju dengan kencang. Nana kemudian melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 06.50. itu artinya kurang 10 menit lagi masuk. Dan saat ini Nana baru sampai setengah perjalanan. “ayo cepat”. Batin Nana. Alhasil rantai sepedanya lepas.
“Aiiiyyyysss… benar-benar menjengkelkan!” celoteh Nana kesal. Rantainya hanya bisa diperbaiki bila pelindung rantainya dilepas. Sangat butuh waktu lama agar bisa diperbaiki. Pasti Nana akan telat. Dengan kecewa Nana mulai memperbaiki rantai sepeda yang lepas. Belum lagi sangat susah untuk membukanya dengan minimnya alat. Hanya tangannya saja yang digunakan, tanpa ada tambahan alat lain. Alhasil Nana memperbaikinya dengan kesusahan.
Setelah agak lama Nanapun selesai memperbaiki rantai sepeda itu. Dia lalu melihat jam tangannya lagi. Seketika Nana terkejut, jam tangannya telah menunjukkan jam 07.10. sudah terlambat 10 menit. Belum lagi tangannya yang kotor terkena oli rantai tadi. Sudah tidak ada waktu lagi untuk membersihkannya. Dengan cepat Nana kembali mengayuh sepeda tua itu lagi. Sudah tidak ada waktu lagi. Nana tidak peduli dengan jalanan yang dia lewati. Entah berlubang atau tidak, Nana terus melajukan sepedanya. Dia  tidak memikirkan lagi nasib sepedanya nanti. Yang diapikirkan hanya satu yaitu cepat sampai ke sekolah.
“Benar dugaanku. Aku benar-benar telat hari ini.” Gerutu Nana pelan.  Dipintu gerbang, sudah berdiri pak Andi menatapnya, seorang guru BK yang sangat disiplin. Beliau tersenyum kearah Nana menandakan bahwa beliau siap memberi hukuman untuknya.
“Nana, kamu hebat”. Beliau tersenyum lebar kearah Nana.
 “Tapi, sudah jam berapa ini!! Kau terlambat 20 menit!” bentak pak Andi pada Nana. Nana hanya diam saja tak menjawab atau memberikan alasan mengapa dirinya terlambat. Baginya itu hanya membuang waktu saja. Toh akhirnya juga akan mendapat bukuman juga. Jadi lebih baik diam saja. Nana sudah tahu pak Andi akan seperti ini. Awalnya memuji, tapi selanjutnya akan memasang sifat kejamnya. Karena sudah berulang kali Nana telat, dan beliau sudah hafal dengannya.
“Baiklah, kau bersihkan halaman belakang sekolah. Ingat sampai bersih! Nanti jam ke 3, kau baru boleh masuk kekelas”. Perintah pak Andi tanpa panjang lebar, karena terlihat seorang siswa laki-laki yang sepertinya juga terlambat. Laki-laki itu terlihat keren dan tinggi. Nanapun hanya melihatnya sekilas. Tanpa menjawab Nana langsung pergi kehalaman belakang sekolah.
            Sepanjang perjalanan, Nana melihat kelas-kelas SMAnya yang sangat sibuk. Aktifitas belajar mengajar telah mengisi kelas-kelas itu. Guru-guru juga terlihat sibuk menjelaskan materi pada muridnya. Namun guru itu juga perlu dikasihani.  Beberapa murid yang terlihat terlalu sibuk untuk urusan yang lain. Nanapun melihat mereka yang sibuk sendiri dan dia berkata dalam hati.
Mereka terlalu sibuk dengan dirinya sendri. Entah itu tidur, melamun, mainan HP, atau mengobrol dengan temannya. Ya itulah yang fakta yang terjadi. Bukan seperti sekolah yang pemerintah harapkan. Aku berani menilai karena aku berbeda dengan mereka. Aku masuk ke SMA ini karena beruntung. Tak mungkin jika aku tak beruntung maka bisa sekolah disini. Aku hanyalah anak panti yang tak mungkin bisa membayar biaya sekolah ini. Tak punya orang tua yang membiayaiku. Dan sangat aneh bukan? Tapi aku disini karena beasiswa yang kuterima karena prestasiku. Ya begitulah. Satu-satunya sifat positif yang aku punya. Karena akal yang aku punya.
            Tampak halaman belakang sekolah sangat kotor. Dedaunan kering dengan santainya bertebaran di halaman belakang sekolah. Ditambah sampah-sampah plastik yang menambah pemandangan jelek disini. Nana hanya menghela napas pasrah. Lalu dia mengambil sapu dan mulai membersihkan.
“butuh waktu lama. Ah hari yang aku benci”. Gerutu Nana pelan. Lalu pandangannya tersita oleh laki-laki tadi yang tadi juga terlihat telat.
“mungkin dia juga dihukum sama denganku”. Batin Nana kemudian.
“Tapi aku merasa tak pernah melihat dia sebelumnya. Ah iya, aku kan memang tak pernah peduli dengan mereka. Teman-teman sekelasku pun, mungkin aku tak tahu atau bahkan tak kenal. Tapi mengapa dia tampak tak asing bagiku? Apakah aku mengenalnya? Ah sudahlah jangan dipikirkan lagi.” Tanya Nana dalam hati.
Laki-laki itu melihat Nana yang juga tengah melihatnya. Seketika Nana mengalihkan pandangannya pada laki-laki itu . Nana pun kembali lagi dengan sifat datarnya. Tak peduli dan dingin. mereka membersihkan tempat itu dalam diam. Nana bahkan tidak pernah sekalipun menatap laki-laki itu lagi, meskipun dalam satu tempat. Setelah selesai mengerjakan bagiannya, Nana langsung pergi begitu saja tanpa mempedulikan laki-laki itu. Langkahnya pun lurus kedepan tanpa melihat kanan kirinya. Nana terus berjalan meninggalkan halaman itu.
Sampai kelas, guru mapel jam ke 3 juga telah sampai. Seisi kelas memandangi Nana dengan rasa tidak suka. Dipanti atau disekolah sama saja. Semuanya tidak menyukainya. Tanpa ekspresi  dan tanpa mengatakan sepatah kata apapun,Nana menundukkan kepala sebagi tanda hormat pada gurunya. Lalu guru itu mempersilahkan Nana duduk. Nana langsung menuju tempat duduknya yang berada di barisan paling depan. Suara hati Nana terdengar.
Mungkin karena aku duduk di bagian depan, jadi aku tak mengenali teman-teman sekelasku. Hanya beberapa dibagian depan yang sederet denganku. Mungkin yang lainnya hanya wajah mereka yang kuingat, namun tanpa namanya. Wajah mereka sekedar mengingatkanku bahwa mereka sekelas denganku. Aku benar-benar tak peduli dengan ini. Dan aku tahu bahwa mereka tidak menyukaiku. Juga mungkin mereka menganggap bahwa aku tak pernah ada dalam kelas mereka. Aku biasa saja, karena memang aku sudah terbiasa. Jadi tidak perlu dikhawatirkan.
Sebelum pelajaran usai, guru mata pelajaran jam ke 3 itu memberikan tugas kelompok untuk kelas 11 A yang merupakan kelas Nana.
“Baiklah, buatlah kelompok maksimal terdiri dari 4 orang. Dan minimal 2 orang untuk menyelesaikan tugas di halaman 47. Kumpulkan minggu depan.” Kata guru itu memberi tugas.
“baik bu.” Jawab teman-teman Nana sekelas. Lalu guru itu keluar dari kelas 11 A. terlihat dua orang perempuan berjalan mendekati Nana.
“Na, sekelompok dengan kami ya?” kata Vina meminta Nana untuk menjadi anggota kelompoknya.
“Iya Na. Dengan kita ya?” Sambung Risa yang berada disebelah Vina.
“Aku sudah tahu maksud mereka memintaku sekelompok dengan mereka. Mereka mendekatiku karena aku pintar. Dengan begitu, mereka akan bersantai-santai karena tugas itu pasti aku yang akan mengerjakannya.” Kata Nana dalam hati.
“Tidak mau.” Jawab Nana singkat dengan menatap tajam Vinq dan Risa.
Nana sama sekali tidak takut akan jawabannya. Lalu dia berjalan pergi meninggalkan kedua orang temannya yang masih berdiri didepan bangkunya.  Tak lupa dengan bekal sarapan pagi dari panti yang berada di tangannya.
“Ahh.. Dasar anak sombong itu. Belum tahu siapa aku.” Ucap Vina geram sambil mengepalkan tangannya. Nana tidak peduli dengan ucapan Vina yang terdengar ditelinganya.
“Iya Vin, anak panti memang tidak punya tata krama.” Tambah Risa lagi.
 Mendengar ucapan Risa itu, Nana berhenti dan meniup poninya karena ucapan Risa yang terdengar terlalu tajam. Nana tidak peduli dan terus berjalan dengan menahan rasa amarahnya.
Nana sampai kursi yang berada ditaman sekolah. Begitu sampai, Nana langsung duduk dan mulai memakan bekal yang dia bawa dari panti. Dia begitu menikmati bekal sarapannya itu. Rambutnya yang lurus panjang itu perlahan terkena terpaan angin ditaman itu. Sesekali tangannya merapikan rambutnya yang terkena terpaan angin. Bekal sarapannya telah habis.  Matanya pun menatap langit lepas yang terlihat cerah. Setelah puas menatap langit, pandangan matanya kembali melihat kedepan dengan kosong. Tatapan matanya kemudian melihat laki-laki yang berjalan didepannya. dia adalah laki-laki yang tadi terlambat bersama Nana. Laki-laki itu berjalan begitu saja melewati Nana yang duduk tak jauh dari laki-laki itu. Nana sekilas melihat laki-laki itu dan tidak menyadarinya.
Tidak lama kemudian, bel tanda masuk berbunyi. Nana yang mendengar itu langsung bergegas meninggalkan taman. Dia terus berjalan menuju kelasnya. Saat Nana sampai didepan kelasnya, terlihat laki-laki tadi yang juga memasuki kelas yang berada disebelah ruang kelas Nana. Nanapun masuk dengan tatapan sedingin es. Di kelasnya, terlihat kebanyakan temannya sedang bercanda dan tertawa. Termasuk juga Risa dan Vina yang tengah bercanda dengan temannya yang lain. Hanya Nana saja yang terlihat sedang membuka buku dan mempelajarinya. Dari belakang terlihat tiga anak laki-laki berkumpul yang salah satunya membawa bola kasti. Mereka tengah melihat Nana yang berada dibarisan depan. 
“Lihat dia sangat serius! Kau berani melakukannya?” Tanya salah satu anak laki itu yang bernama Vian.
“Lihat saja.” Jawab anak laki-laki yang sedang membawa bola. Dia adalah Herry.
“Mari kita lihat, dia akan marah atau diam saja. Aku pikir dia akan marah dan menghampiri kita.” Jawab anak laki-laki satunya lagi yang duduk disebelah Herry dengan mengeluarkan uang lima puluh ribuan. Tommy itulah namanya. Herry pun juga mengeluarkan uang lima puluh ribuan.
“Dia akan diam.” Kata Herry yakin.
“Tidak, aku setuju dengan Tommy. Semua wanita pasti akan marah karena ini. Dan pasti dia akan mengeluarkan suaranya karena marah.” Protes Vian sambil mengelurkan uang lima puluh ribuan juga. Herry lalu melemparkan bola itu dengan keras kearah Nana. Bola itu tepat melayang di pundak Nana sebelah kiri. Nana pun terkejut menerima pukulan bola keras dipundaknya. Herry dan teman-teman sekelas tertawa melihat bola yang mendarat dipundak Nana.
“Yes!! Kena!” teriak Herry. Nana terlihat kesakitan karena bola itu. Dia kemudian menoleh kearah Herry yang terlihat senang. Tatapan tajam langsung Nana lontarkan pada Herry  yang tersenyum manis kearahnya. Nana hanya diam saja tanpa melontarkan sepatah kata apapun. Nana menahan kesalnya dan menatap kembali kedepan dengan menahan rasa sakit dipundaknya. Suara teman-temannya yang tertawa masih terdengar. Berbagai celotehan dan kata-kata kasar masih terdengar ditelinganya. Risa dan Vina juga tertawa senang dengan apa yang terjadi pada Nana.
“Ahhh… sakit. Nana, nikmatilah semua ini!” kata Risa senang dengan melihat Nana yang menjadi bahan tertawaan.
“Salah sendiri sombong dan sok pintar! Bekankah begitu Ris?” kata Vina menambahi yang tersenyum senang. Risa yang dimintai pendapat Vina pun melihat Vina dan membenarkannya.
“Benar. Makan tu bola. Haha..” jawab Risa tertawa.
Nana kembali menahan rasa kesal dengan menghembuskan napasnya dan meniup poninya. Dia lalu bersikap biasa saja dengan membaca bukunya kemali, seolah tidak terjadi apa-apa. Terlihat Herry mengambil uang hasil taruhan dari temannya dengan penuh senyum kemenangan.
mereka bahkan memperlakukan diriku bukan seperti manusia, seperti hewan yang bisa mereka kerjai dengan sesuka hati. Bahkan peristiwa seperti ni sudah biasa aku alami. Aku memilih diam bukan karena aku takut dan lemah. Tapi karena aku malas mengeluarkan energiku untuk hal yang tidak penting. Aku juga tidak pernah mengadukan ini ke BK. Jadi aku memilih diam dan tidak peduli.” Suara Nana dalam hati.
Guru pun datang kekelas 11 A. seketika suara tertawa dikelas itu padam. Dengan cepat, mereka kembali ketempat duduknya masing-masing. Kelaspun terlihat tenang dan damai. Seolah peristiwa tadi yang menimpa Nana tidak pernah terjadi. Penderitaan Nana pun berakhir dengan adanya guru itu.
***
Semua murid SMA Teladan terlihat berhamburan keluar kelas dengan menenteng tas. Waktu pulangpun telah tiba. Suara bising dari murid-murid SMA Teladan terdengar begitu berisik ditelinga Nana yang tengah berjalan diantara murid-murid SMA Teladan yang bergegas pulang. Nana berjalan dengan tatapan matanya yang dingin dan tanpa senyum. Ya memang seperti itulah Nana dingin dan tidak pernah tersenyum sejak peristiwa 5 tahun yang lalu. Nana terus berjalan menuju keparkiran. Dia lalu mendekati sepedanya yang terparkir disana. Nana terkejut mendapati ban sepedanya yang kempes. Dia lalu menyentuh ban sepedanya yang benar-benar kemps. Diapun terlihat kesal.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Pagi tadi masih terlihat baik-baik saja.” Kata Nana dalam hati. Dengan terpaksa Nana menuntun sepedanya keluar dari parkir. Terlihat dari ujung parkir, Risa dan Vina tersenyum licik melihat Nana yang tengah menuntun sepedanya. Mereka berdua kemudian berhigh five.
Flash back
“Na, sekelompok dengan kami ya?” kata Vina meminta Nana untuk menjadi anggota kelompoknya.
“Iya Na. Dengan kita ya?” Sambung Risa yang berada disebelah Vina.
 “Tidak mau.” Jawab Nana singkat dengan menatap tajam Vinq dan Risa.
Nana lalu berjalan pergi meninggalkan kedua orang orang itu yang masih berdiri didepan bangkunya. 
“Ahh.. Dasar anak sombong itu. Belum tahu siapa aku.” Ucap Vina geram sambil mengepalkan tangannya. Nana tidak peduli dengan ucapan Vina yang terdengar ditelinganya dan terus berjalan pergi.
“Iya Vin, anak panti memang tidak punya tata krama.” Tambah Risa lagi. Risa dan Vina kesal dengan Nana yang menolak untuk sekelompok dengannya. Risa terus berteriak kesal dengan mencaci maki Nana yang berjalan keluar dari kelasnya. Risapun tampak mengepalkan tangannya seolah ingin memukul Nana yang sudah berjalan menjauh. Vina yang berada disamping Risa pun membisikkan ide kepada Risa untuk meluapkan rasa kesalnya. Kemudian Risa dan Vina berlari menuju keparkiran sekolah.  
“Dimana sepeda Nana?” Tanya Risa dengan melihat banyak sepeda yang terparkir disan.
“Kurasa ini.” Kata Vina menunjuk sepeda tua milik Nana.
“Apakah kau yakin ini sepeda Nana?” Tanya Risa lagi dengan melihat sepeda itu.
“Siapa lagi yang punya sepeda seperti ini?” kata Vina mengejek sepeda itu.
“Baiklah kalau begitu. Sepeda butut ini memang sangat cocok dengan pemiliknya yang sombong itu.” Kata Risa menyetujui perkataan Risa.
“kau tunggu apa lagi, ayo kita kerjakan sebelum ada yang datang.” Kata Vina lagi
“Baiklah.” Jawab Risa yang segera mengempeskan ban sepeda milik Nana sampai benar-benar kempes. Risa dan Vina pun tersenyum puas dengan apa yang telah mereka kerjakan. Mereka kemudian meninggalkan parkiran itu.
***
            Flash back and
Nana menuntun sepedanya sampai dihalaman panti. Dia menuntun sepeda itu dari sekolahnya sampai ke panti. Ban sepedanya kemps akibat perbuatan vina dan Risa. Dia terlihat lelah menuntun sepeda itu dengan napas yang terengah-engah. Dia lalu menaruh sepeda itu diparkiran panti yang telah tersedia. Segera dia melangkahkan kakinya masuk kedalam panti. Keringatnya terlihat membasahi seluruh tubuhnya. Wajahnya pun terlihat kusam dan penuh degan keringat. Sesekali tangannya mengelap keringatnya menetes diawajahnya dengan tangannya. Semakin langkah kakinya masuk kedalam panti, semakin banyak pula tatapan-tatapan tidak suka dari penghuni panti itu. Seolah itu seperti makanannya sehari-hari. Nana seperti biasa tidak peduli dan terus menatap kedepan. Seolah-olah dia tidak melihat siapapun.
Nana pun sampai didepan kamarnya. Dia membuka pintu kamarnya yang terlihat sepi. Dia lalu masuk kedalam kamarnya dan menutup pintunya. Dia lalu bersandar di pintu itu dengan tas yang menyentuh lantai. Dia lalu menghembuskan napas panjangnya. Tangannya lalu menyentuh pundaknya yang terkena lemparan bola tadi.
“Auhhh…. Sakit.” Kata Nana pelan. Nana pun menaruh tasnya di paku dinding dan berjalan menuju almari. Kemudian dia membuka baju seragamnya dan mendapati luka lebam yang membiru dipundak kirinya. Dia lalu memakai kaos biasa dan luka lebam dipundaknya tertutupi oleh kaos itu. Nana keluar kamar dan terus berjalan menuju dapur. Tangannya pun membuka kulkas yang ada disana dan mengambil satu plastik es batu. Tak peduli dengan tatapan aneh penghuni panti lainnya, Nana terus berjalan menuju kamarnya kembali. setelah masuk kekamarnya, dia mulai mengompres luka lebam dipundaknya sendirian dengan es batu yang diambilnya dari dapur. Terdengar suara Nana yang terus mengaduh kesakitan.
                                                                        ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar