Jumat, 27 November 2015

Book review Ilmu Tafsir "Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Al-Quran

BOOK REVIEW
Mata Kuliah Ilmu Tafsir
Disusun   oleh : Chasanatun Nikmah (142111133)

Identitas Buku
Judul               : Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Quran
Pengarang       : Dr. Muhammad Sayid Husein Adz-Dzahabi
Tahun terbit     :1996
Penerbit           : PT Raja Grafindo Persada
Kota Terbit      : Jakarta

PENDAHULUAN
Sebelumnya banyak diantara kita yang beranggapan bahwa buku-buku tafsir (al-Quran) merupakan buku-buku suci. Tetapi mereka lupa bahwa sebenarnya para mufassir itu juga manusia biasa yang tidak kebal terhadap dosa, dan tafsir itu merupakan bidang kajian yang luas, karena kebodohan atau adanya kepentingan-kepentingan pribadi penafsirnya, dapat menimbulkan pendapat-pendapat yang justru merusak citra al-Quran itu sendiri. Tafsir juga merupakan tempat yang subur untuk menumbuhkan dan menyebarluaskan pendapat-pendapat mazhab dan golongan.
PEMBAHASAN
A.   Perkembangan Penafsiran dalam Alquran dalam Dua Periode
1.      Periode periwayatan
Al-Quran adalah sebuah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Nabi Muhammad selain berfungsi sebagai penyampai Al-Quran juga sekaligus sebagai penafsirnya. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah ayat yang telah ditafsirkan oleh Nabi tersebut. Ada yang berpendapat bahwa beliau telah menjelaskan makna Al-Quran itu seluruhnya kepada para sahabat, termasuk makna semua katanya. Ada juga pendapat lain yang berpendapat bahwa beliau hanya menjelaskan sedikit saja dari makna al-Quran itu kepada para sahabat .
Dengan demikian diantara penafsiran yang diriwayatkan oleh para sahabat itu ada yang bersumber dari Rosulullah dan ada pula yang bersumber dari mereka sendiri melalui pemikiran dan ijtihad. Dan seterusnya pada generasi selanjutnya, sampai datangnya periode pembukuan.
2.      Periode Pembukuan
Periode ini dimulai pada akhir abad pertama dan awal abad ke-2 H. dalam periode ini tafsir memasuki beberapa tahap yang mempunyai ciri khas masing-masing.
·         Tahap Pertama
Pada tahap ini, pembukuan tafsir dilakukan secara bersama-sama dengan pembukuan hadis..
·         Tahap Kedua
Pada tahap ini tafsir dipisahkan dari hadist sehingga merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Semua tafsir ini mereka tulis berdasarkan pertautan periwayatan atau sanad yang lengkap dan sebagian besar yang dimuat dalam tafsir-tafsir tersebut adalah tafsir bil ma’tsur.
·         Tahap ketiga
Pada tahap ini tafsir belum keluar dari garis tafsir bil ma’tsur. Akan tetapi sanadnya dihilangkan.
·         Tahap keempat
Pada tahap ini tafsir melangkah lebih luas lagi dan melalui masa yang panjang sekali, sejak masa khilafah ‘Abbasiyah hingga masa modern sekarang ini. Jadi pada masa tahap ini telah menggabungkan tafsir bir-ra’yi (tafsir, aqli, rasional) dengan tafsir naql, melalui beberapa tahap yang menarik.
A.    Asal Mula Timbulnya Orientasi Menyimpang dalam Tafsir dan beberapa Faktor yang mendorongnya
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyimpangan dalam tafsir dimulai dari penghilangan sanad dan karena didominasi oleh kecenderungan-kecenderungan perorangan dan mazhabmazhab teolojik atau mazhab-mazhab lain. Lalu dikemudian hari muncul generasi-generasi baru yang mengutip tafsir-tafsir mereka itu sama persis seperti yang mereka lakukan tanpa menguji kebenaran tafsir-tafsir tersebut dan tanpa menyebutkan sanad-sananya pula. Akibatnya banyak orang yang tersesat karena membaca biku-buku tafsir tersebut, dan mereka mengira bahwa semua penafsiran dan kisah-kisah israiliyat yang ada didalamnya benar.
Secara umum berikut adalah faktor yang mendorongnya, antara lain:
1.      Mufassir yang bersangkutan meyakini kebenaran salah satu diantara banyak makna yang ada, kemudian menggunakan makna tersebut untuk menerangkan berbagai lafal al-Quran.
2.      Mufassir yang bersangkutan berusaha menafsirkan al-Quran berdasarkan makna yang dimengerti oleh penutur bahasa Arab semata-mata, tanpa memperhatikan siapa yang berbicara dengan (menggunakan) al-Quran itu, kepada siapa diturunkannya al-Quran itu dan siapa pula yang dibicarakan leh al-Quran itu.
B.   Penyimpangan-pemyimpangan dalam Penafsiran Al-Quran
1.     Penyimpangan dalam Tafsir Para Sejarawan
Tafsir yang ditulis oleh ahli sejarawan sangat dipengarui oleh unsur-unsur sejarah. Misalnya mufassir Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Ats-Tsa’labi (wafat tahun 427 H) dengan bukunya Al-Kasyfu wal bayanu ‘An Tafsiril Quran dan Alauddin Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar bin Khalil Asy-Syaihi al-Baghdadi yang terkenal dengan julukannya Al-Khazin (wafat tahun 741 H) dengan buku tafsirnya Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil.
Dengan sangat mencolok kedua orang itu memasukkan kisah-kisah Israiliyat ke dalam buku-buku tafsir mereka masing-masing, dan banyak mengemukakan kisah-kisah yang sama sekali tidak benar. Kedua mufassir tersebut kadang-kadang mengemukakan kritik terhadap beberapa kisah yang mereka kutip tetapi kadang-kadang tidak memberikan komentar apa-apa dan tidak mau mngorek kesalahan yang terapat dalam kisah-kisah tersebut meskipun jelas menodai kesucian para nabi.
Faktor yang mendorong kedua orang mufassir tersebut untuk memasukkan kisah-kisah Israiliyat kedalam tafsir mereka adalah kegemaran mereka membaca dan menceritakan kembaki jisah-kisah Israiliyat itu meskipun didalamnya sebenarnya terdapat hal-hal yang tidak benar.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa kisah-kisah Israiliyat yang dikutip oleh sebagian mufassir dari ahli kitab dan digunakan untuk menjelaskan kandungan al-Quran berengaruh amat jelek terhadap tafsir. Hal ini terjadi karena mereka tidak konsisten dengan sikap para sahabat dahulu yang senantiasa memperhatikan btas kebolehan (yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW) dan tidak melangarnya. Mereka memasukkan pula kisah-kisah fiktif yang menyebabkan para peneliti buku-buku tafsir sama sekali tidak dapat menerima kebenaran kisah-kisah tersebut, walaupun diyakini bahwa semuanya itu berasal dari sumber yang sama.
Tidak diragukan bahwa mereka yang menyebarkan dan mencampuradukkan kisah-kisah Israiliyat dan kisahkisah bohong lainnya dengan kisah-kisah yang benar bisa diibaratkan seperti melemparkan duri ketengah jalan yang akan dilalui leh para peminat kajian tafsir. Karena itu seandainya ada ulama yang mau mengikis habis kisah-kisah Israiliyah tersebut dari buku-buku tersebut benar-benar bersih dari segala macam kisah yang tidak benar, orang yang akan mempelajari tafsir sudah barang tentu akan dapat memahami al-Quran itu secara benar dan terhindar dari kebohongan dan kerancuan para penutur kisah bohong tersebut.
2.     Penyimpangan dalam Tafsir dari Para Ahli Tata Bahasa Arab
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa Ilmu Tafsir itu dibukukan bersamaan dengan dibukukannya berbagai macam ilmu. Juga sudah dikemukakan bahwa jika seorang ahli dalam bidang studi tertentu menyusun tafsir, mak tafsirannya akan sangat diwarnai oleh bidang yang menjadi keahliannya itu. Demikian juga tafsir yang ditulis oleh seorang ahli hukum Islam (faqih), ahli retorika dan ahli tatabahasa Arab (ilmu nahwu) akan dipengaruhi oleh keahlian masing-masing. Pendek kata, keahlian seseorang dalam bidang studi tertentu akan banyak mempengaruhi cara penafsirannya terhadap al-Quran, dan kadang-kadang penafsiran itu kurang sesuai atau bahkan pembahasannya sama sekali tidak terarah.
Perlu disesalkan  adanya orang-orang seperti itu, tidak lain karena mereka menulis sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditulis dan merepotkan pembacanya saja karena kesimpangsiuran penafsirannya. Sehingga menyebabkan orang mengabaikannya. Yang paling jelek adalah para mufassir yang terlalu mengistimewakan ilmu Nahwu (Tata Bahasa Arab) dengan berbagai macam alirannya, kemudian menganggap tidak benar aliran-aliran lain yang tidak sama dengan yang dianutnya. Mereka menemukan suatu ayat dalam al-Quran yang dibaca menurut bacaan (qiraat) yang konsisten dengan bacaan Nabi Muhammad SAW, kemudian menganggapnya salah karena bacan itu tidak sesuai dengan aliran (mazhab) nahwu yang mereka anut. Bahkan lebih dari itu, mereka mencela orang yang membaca dengan bacaan tersebut dan sekaligus menganggapnya salah sebagai orang yang tidak mengetahui keindahan dan keanggunan susunan kalimat al-Quran.
Diantara mufassir-mufassir yang melakukan penyimpangan seperti itu adalah Az-Zamakhsyari (wafat tahun 538 H) dengan kitab tafsirnya Al-Muharrarul Wajiz fi Tafsiri Kitabil Aziz. Contoh penyimpangan yang paling mencolok yang dilakukannya adalah ketika menafsirkn firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 137.
3.     Penyimpangan dalam Tafsir dari Orang-orang yang Tidak Mengetahui Kaidah-kaidah Bahasa Arab
Ada sekelompok orang yang berbicara tentang dan menulis tafsir al-Quran padahal mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang kaidah-kaidah dan aturan bahasa Arab, termasul pengetahuan tentang pola pembentukan kata dan konjugasi (tasrif)nya. Karena itu, mereka cenderung melakukan penyimpangan dalam menafsirkan al-Quran dan memberikan arti etimologis suatu lafal al-Quran dengan arti kata lain yang tidak sesuai, baik dalam arti hakikinya maupun dalm arti kiasannya.
Tidak ditemukan buku-buku tafsir khusus yang ditulis oleh orang-orang yang berkualitas seperti ini. yang ditemukan hanyalah pendapatt-pendapt orang yang dikutip oleh beberapa orang mufassir dalam buku-buku atau karangan mereka yang membicarakan tafsir. Penafsiran semacam ini antara lain dikutip oleh Ibnu Qutaibah dari sekelompok Mu’tazilah yang menafsirkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 255.
4.     Penyimpangan dalam Tafsir Mu’tazilah
Munculnya berbagai mazhab keagamaan, sangat mempengaruhi Tafsir al-Quran. Hal itu terjadi karena al-Quran merupakan acuan pertama bagi kaum Muslimin pendukung mazhab-mazhab tersebut. Mereka berusaha mencari dalil untuk mendukung mazhabnya masing-masing, meskipun dengan cara mencocok-cocokan teks (nash) al-Quran dengan pandangan mazhabnya itu. Mereka menafsirkannya sesuai dengan jalan fikiran dan keinginannya serta mana’wilkan ayat yang berbeda dengan pendapat mazhabnya sehingga tidak tampak berlawanan dan bertentangan dengan mazhab serta kepercayaannya.
Keadaan yang telah begitu parah, para penganut mazhab-mazhab itu berusaha keras untuk mempertahankan dan menyebarluaskan mazhab-mazhab itu keluar lingkungannya sendiri dengan menggunakan berbagai macam penafsiran yang cenderung menyimpangkan makna firman Allah sesuai dengan keinginan dan mazhab yang mereka anut.
Diantara kelompok-kelompok mazhab itu, mu’tazilah merupakan kelompok yang banyak mena’wilkan ayat-ayat al-Quran secara tidak proporsional dan menyimpangkan maknateks-teks al-Quran dari makna yang sebenarnya dalam rangka mendukung prinsip-prinsip yang diyakininya.
Bila kita mengkaji kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para mufassir Mu’tazilah kita dapat mengungkapkan banyak pena’wilan untuk mendukung lima prinsip yang telah mereka sepakati yakni tauhid, keadilan, janji, dan ancaman, tempat diantara surga dan neraka dan amar ma’ruf nahi mungkar.
disini cukup disebutkan beberapa contoh pena’wilan yang memberikan gambaran tentang betapa pintarnya orang Mu’tazilah menyimpangkan makna suatu ayat sesuai dengan pandangan mereka dan menjadikannya tidak cocok sebagai dalil bagi lawan-lawannya. Misalnya  dalam menafsirkan AlQuran al-Kiyamah ayat 22 dan 23.
5.     Penyimpangan dalam Tafsir Orang-orang Syi’ah (Imamiyah Itsna ‘Asyariyah)
Bila kita mempunyai waktu untuk mengkaji mazhab Syi’ah kita dapat melihat bahwa ternyata para pendukungnya tidak terlepas dari perpecahan dan perbedan pendapat termasuk dalam akidahnya. Selain kita dapati pengikut-pengikut ekstrim yang mengangkat Ali sampai ketingkat ketuhanan (sehingga sebenarnya mereka telah kafir), kita dapati pula pengikut-pengikut moderat yang menganggap Ali sekedar lebih utama daripada para sahabat Nabi lainnya serta menganggapnya lebih berhak atas jabatan khalifah. Disamping itu kita dapati juga pengikut-pengikut yang bersikap tengah-tengah diantara kelompok itu. Mereka tidak mempertuhan Ali dan tidak menganggapnya sebagai manusia biasa yang berbuat salah atau benar, melainkan menganggapnya sebagai orang yang yang ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa) setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Setiap kelompok pengikut Syi’ah menyebut dirinya Islam dan mengakui al-Quran meskipun secara garis besarnya saja, karena itu wajarlah jika mereka berusaha mengkaji kitab suci sandaran utama itu dan berupaya untuk menjadikannya sebagai dalil untuk menguatkan, bukan menentang, kebenaran pendapat mereka. Ayat-ayat al-Quran yang menurut mereka bisa dipakai sebagai alasan penguat atas (kebenaran) mazhab Syi’ah mereka pegangi, sedangkan ayat-ayat yang mereka anggap tidak cocok dengan berbagai cara mereka cocok-cocokkan atau setidak-tidaknya mereka tafsirkan sedemikian rupa sehingga tidak tampak bertentangan dengan mazhab mereka itu. Upaya mereka itu jelas mengakibatkan penyimpangan nash al-Quran dari dari maknanya yang sebenarnya.
Syiah dengan berbagai macam kelompoknya mempunyai pengaruh terhadap penafsiran al-Quran an yang paling besar pengaruhnya adalah kelompok Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Mereka berpendapat bahwa Rasulullah SAW telah menetapkan Ali (bin Abi Thalib) sebagai pemimpin (imam) setelah beliau beliau wafat. Kemudian kepemimpinan itu berturut-turut beralih dari Ali kepada putranya, Hasan, dan kepada keturunan seterusnya. Contoh tafsirnya adalah Tafsir Al-Quran karya Sayid Abdullah Al-‘Alawy (wafat tahun 1188 H).
6.     Penyimpangan dalam Tafsir di Kalangan Khawarij
Kelompok Khawarij timbul setelah keputusan tahkim (peleraian) yang sebenarnya merupakan merupakan penipuan Amr bin Ash terhadap Abu Musa Al-Asy’ari. Di lingkungan Khawarij sendiri terjadi perselisihan sehingga kelompok ini terpecah menjadi sekte-sekte kecil yang berbeda satu sama lain aik dalam ajaran maupun keyakinannya. Namun demikian mereka sependapat dalam dua hal pokok: 1. Mengkafirkan Utsman, Ali, Mu’awiyah dan dua orang pelerai (Amr bin ‘Ash dan Abu Musa Al’Asy’ary), pasukan unta dan semua orang yang menerima tahkim; 2. Wajib menentang peguasa yang tiran. Selain itu ada hal yang ketiga yang diakui oleh kebanyakan kelompok Khawarij, bahwa orang yang melakukan dosa besar dianggap telah kafir.
Kita mengetahui adanya beberapa sekte dalam Khawarij tetapi semuanya menyebut dirinya Islam dan mengakui kebenaran al-Quran sebagai landasan ats prinsip-prinsip dan ajaran-ajarannya, walaupun dalam hal ini mereka melihat al-Quran dari sudut pandangan yang mereka yakini saja. Kaerena itu ayat yang mereka anggap mendukung kebenaran mazhabnya mereka pegangi dan mereka jadikan sandaran, sedangkan ayat yang mereka anggap mendukung mazhab lain mereka hindari dengan cara mena’wilkannya sehingga tidak berbenturan dengan prinsip dan ajaran mereka sendiri.
Orang-orang yang mengkaji pemikiran-pemikiran dibidang tafsir yang dikutip dari kalangan Khawarij atau membaca tafsir yang terdapat dalam buku-buku Tafsir mereka sendiri yang sampai ke tangan kita, sehingga kan terlihat bahwa kepentingan mazhab sangat berpengaruh terhadap pemikiran dan berperanan penting dalam pemahaman-pemahaman mereka. Dengan demikian sebenarnya mereka melihat al-Quran dari sudut pandangan dan keyakinan mereka sendiri. mereka tidak mengetahui sedikit pun makna lain dari al-Quran selain daripada yang diwrnai oleh mazhab dan oleh pemimpin mereka.
Sebagai contoh bisa dikemukakan bahwa sebagaian besar Kaum Khawarij berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar dianggap telah kafir dan akan kekal dineraka Jahannam. Diantara buku-buku yang membicarakan Kaum Khawarij ini, kami dapati nama Ibnu Abil Hadid yang membahas pandangan-pandangan kelompok Khawarij ini dalam bukunya Syarhu Nahjil Balaghah. Dia menunjukkan kepada kita dalili-dalil yang mereka ambil dari al-Quran sebagai landasan atas pendapat mereka mengenai orang yang melakukan dosa besar itu. Contohnya yang disebut Ibnu Abil Hadid adalah sura Al-Maidah ayat 97.
7.     Penyimpangan dalam Tafsr di Kalangan Sufi
Tasawuf atau mistik (zuhud), pertapaan, dan berlebih-lebihan dalam beribadat telah ada sejak  masamasa pertama sejarah Islam. Tetapi kata Sufi tersebut baru dikenakan kepada orang-orang zuhud pada masa-masa sejak pertengahan abad keua Hijriah. Pada abad ini timbul pembahasan-pembahasan mengenai tasawuf dan lahir pula ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan sufi yang dianut oleh para pendukungnya. Pembahasan-pembahasan dan ajaran-ajaran ini tumbuh dan berkembang teruh dari masa ke masa, sejalan dengan apa yang telah mereka warisi dari para filosof di zaman dahulu.
Sejumlah tokoh sufi menjalin hubungang yang erat dengan para filosof dan banyak menaruh perhatian terhadap fikiran-fikiran filosofis, sehingga karenanya kita dapati di antara mereka orang-orang yang lebih mirip filosof daripada sufi. Kaerena itu sebagian diantara para penanut tasawuf itu mengamalkan agama berdasarkan pandangan-pandangan filosofis yang justru tidak sesuai dengan ajaran-ajaran pokok syari’ah. Dala mengamalkan sufi itu mereka mengikuti dua macam orientasi: 1. Orientasi teoritis yang didasarkn atas hasil pembahasan dan studi, 2. Orientasi praktis yang didasarkan atas kegiatan penyiksaan iri, askestisisme (zuhud) an menghanyutkan diri secara berlebih-lebihan dalam kegiatan beribadat kepada Allah.
Sebagaimana kelompok-kelompok dalam Islam, kaum sufi jug banyak melakukan pengkajian terhadap al-Quran dan memiliki berbagai buku tafsir yang tersimpan diperpustakaan-perpustakaan Islam, baik yang baru maupun yang lama. Pengkajian-pengkajian terhadap al-Quran dan urairan-uraian mereka berciri khas tasawuf. Alam hal ini tampak jelas pengaruh-pengauh tasawuf teoritis yang didasarkan atas pemikiran-pemikiran ilmiah para tokoh sufi dan kemudian dicarikan justifikasinya dari dalam al-Quran.
Selain itu juga tampak pengaruh-pengaruh tasawuf praktis yang dipusatkan pada latihan ruhani oleh para penganutnya sampai mencapai suatu tingkat yang dikenal sebagai kasyaf, dimana isyarat-isyarat suci dari alam ghaib konon tampak dan memberikan pengetahuan-pengetahuan rabbani kedalam hati mereka, dan pengetahuan itulah yang mereka gunakan untuk menjelaskan makna al-Quran.
Bila melihat kitab-kitab tafsir kaum sufi, baik tafsir teoritis(nadhari) maupun tafsir simbolis (Isyari) atau limpahan (Faidhi), dapat ditemukan didalamnya penyimpangan-pemyimpangan dalam menafsirkan al-Quran itu. Tafsir sufi nadhari pada umumnya menyimpangkan makna al-Quran dari maksud dan tujuan yang dikehendaki sebenarnya. Al-Quran dengan nash-nash dan ayat-ayatnya mempunyai maksu-maksud tertentu, tetapi orag-orang sufi menyimpangkannya kepada maksud-maksud lain yang sesuai dengan pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran mereka. Kadang-kadang ada kesenjangan dan kontradiksi diantara kedua tujuan atau maksud tersebut, dalam hal seperti ini mereka tidak berbuat lain kecuali menyimpangkan maksud al-Quran yang sebenarnya itu kepada maksud lain yang ingin dicapainya. Dengan segal upayanya ini mereka bermaksud mempopulerkan faham tasawuf kepada orang-orang yang membaca al-Quran dan bermaksud membangun teori-teori atau pandangan-pandangan yang didasarkan atas prinsip dari kandungan kitab suci itu. Sebenarnya dengan perbuatan ini kaum sufi telah diperbudak oleh pandangan-pandangan filsafat dan ajaran-ajaran tasawuf. Sebenarnya mereka tidak mengemukakan apa-apa tentang al-Quran itu kecuali pena’wilan yng semuanya bernada menjelekkan agama dan merupakan perbuatan lancan terhadap ayat-ayat al-Quran itu.
8.     Penyimpangan dalam Tafsir di Kalangan Para Ilmuwan
Diantara para ulama dizaman dahulumaupun dizaman sekarang ada yang berpendapat bahwa disamping ilmu agama al-Quran juga berisi keterangan-keterangan-keterangan tentang ilmu-ilmu duniawi dengan segala macam jenis dan coraknya. Sebagai akibatnya mereka mencoba mencari istilah-istilah keilmuan dari dalam pernyataan-pernyataan al-Quran, berusaha mengungkapkan semua ilmu kealaman dari dalam nash-nashnya bahkan menegaskan bahwaa semua ilmu yang kita dapati sekarang hingga hari kiamat kelak telah diungkapkan dalam al-Quran dan bisa digali daripadanya.
Orang yang paling terkenal mengikuti orientasi penfsiran al-Quran seperti ini adalah Imam Al-Chazali. Dia juga dikenal paling gigih berusaha mempopulerkannya ditengah-tengah pengkajian Islam yang bercorak ilmiah.
Jika dilakukan penelitian tentang sejarah penafsiran al-Quran, akan ditemulan bahwa kecenderungan penafsiran secara ilmiah ini timbul semenjak masa perkembangan ilmu pengetahuan dizaman Abbasiyah hingga sekarang. Dari penelitian tersebut juga dapat diambil kesimpulan bahwa kecenderungan penafsiran ini semula dimaksudkan untuk mencoba mncari kecocokan antara yng disebut dalam al-Quran degan yang diperoleh dari sains modern, kemudian gagasan tersebut ditekuni oleh Al-Ghazali dan ulama-ulama lain yang sependapat dengannya. Akhirnya pemikiran ini mengalami perkembangan yang sangat pesat pada saat sekarang sehingga memberikan dorongan yang sangat besar bagi par cendekiawan dan ulama untuk menulis banyak buku dan tafsir yang didasarkan atas pemikiran ilmiah ini.
PENUTUP

            Demikianlah beberapa penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Quran yang diulas sangat apik oleh Dr. Muhammad Sayid Husein Adz-Dzahabi yang tanpa memihak siapapun. Ternyata tanpa kita sadari, buku-buku tafsir yang selama ini kita percayai dan kita gunakan banyak terdapat penyimpangan-penyimpangan yang kita anggap benar yang ternyata sudah terpengaruhi oleh mazhab atau golongan. Seperti buku-buku tafsir yang telah dipengaruhi oleh mufassir itu sendiri, seperti para sejarawan, para ahli tata bahasa Arab, orang-orang yang tidak mengetahui kaidah bahasa Arab, golongan Mu’tazillah, Syi’ah, Khawarij, Sufi, dan para Ilmuawan yang cenderung menonjolkan golongan atau mazhabnya yag justru menyimpangkan makna al-Qura itu sendiri. Dan percaya begitu saja dengan apa yang tertulis disana. Tanpa mencari tahu makna yang sebenarnya. Dengan adanya buku ini, membuat kita semakin selektif dalam membaca sebuah buku tafsir.  Dan sebenarnya masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan lain dalam penafsiran al-Quran yang tidak diungkapkan dalam buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar